Selasa, 31 Desember 2013

Drini - Si Asri yang Masih Tersembunyi

Bulan Desember, bulan dimana orang-orang yang berada di belahan bumi utara sana sedang asyik menikmati butiran salju yang turun. Menambah suasana khas Natal semakin terasa lengkap, nuansa putih dan merah sudah terpajang disana-sini. Namun, berbeda  di negeri yang tak pernah di sambangi oleh salju ini, dia punya keindahan tersendiri. Di sebuah kota di Provinsi paling Selatan Pulau Jawa ini salah satunya, salah satu kota yang masih kental budayanya , punya keindahan yang tidak terkalahkan. Untuk sebuah tugas kuliah, saya bersama teman-teman memutuskan untuk mengunjungi kota yang saya nobatkan sebagai kota Romantis. Yah, romantis, entah kenapa saya begitu menyukai Jogja, bagi saya, setiap keindahan di Jogja memiliki unsur romantis tersendiri.
Kami, memulai perjalanan pada hari Sabtu 7 Desember 2013, dengan mengendarai mobil yang kami sewa bersama, mulailah kami menjajal untuk menjadi seorang Traveller.Cuaca pagi itu terlihat cukup kusam untuk disapa, matahari masih belum muncul dengan sempurna. Sekitar pukul 08.00 WIB, kami berangkat dari penginapan yang letaknya tak jauh dari Alun-alun Selatan Jogja. Tujuan kita kali ini adalah sebuah tempat yang letaknya berada di balik sebuah perbukitan kapur.
Sepanjang perlajanan, kami disuguhi tebing-tebing yang menjulang,  membuat kami terasa terhipnotis menikmati karya Tuhan nan Agung. Pahatan alam  yang tak sanggup dikerjakan manusia, menambah kenikmatan perjalanan kami. Dua jam sudah kami menghabiskan perjalanan, yang berkelok khas perbukitan, dan sampailah kami di sebuah tempat yang kita tuju.
kami melihat, sepanjang jalan, terdapat perpaduan yang sangat elegan, pemandangan pantai yang beradu dengan patahan tebing-tebing sungguh menggugah kami untuk cepat-cepat ingin bersapa dengan mereka.
Banyak pantai di sepanjang perjalanan yang kami lewati, namun kami memilih sebuah pantai yang terletak di ujung. Aroma khas laut dan deburan ombak menyambut kami, yang juga ingin cepat bersapa dengannya. Pantai ini, dinamakan Drini, ya, pantai yang kami kunjungi kali ini, bernama pantai Drini. Letaknya tak jauh dari pantai yang sudah tersohor, yaitu Indrayanti. Meski namanya tak setenar Indrayanti, namun keindahan alam Drini, benar-benar tak mau kalah dibandingkan pantai-pantai lain di Jogja. Sahutan ombak yang menghantam tebing, pasir putih yang elok,  lambaian rumbai gazebo serta hembusan angin pantai yang beradu, membuat kami betah berlama-lama untuk menikmatinya sembari mengabadikan setiap moment yang membuat kami semakin merasa dekat dengan salah satu pantai selatan ini. Gulungan Ombaknya yang besar khas pantai selatan, membuat beberapa orang takut untuk menikmati lebih dekat untuk berenang. Namun, tak perlu khawatir, Pantai Drini ini memiliki sisi unik yang jelas tidak dimiliki oleh pantai lain di sepanjang pantai gunung kidul lainnya. Yah, Sebuah cekungan yang memiliki ombak yang tenang, cocok untuk dijadikan sarana berkenalan lebih dekat dengan air pantai Drini yang jernih. Di cekungan itulah, terlihat orang-orang semakin akrab dengan Drini yang masih asri.
Untuk menambah keakraban bersama Drini, kami bersama-sama menaiki tangga menuju salah satu tebing yang bersebrangan dengan cekungan. Lambaian daun pandan dan tanaman drini yang tertiup angin, menyapa kami dengan hangat. Memberikan pemandangan yang tak mengecewakan tamu yang datang padanya. Di sini lah, kami memandang hamparan birunya air pantai selatan  dan hembusan angin yang  kencang kala kita berada di ujung tebing, bagaikan dalam sebuah Film Titanic. Sungguh mahakarya Tuhan benar-benar membuat tak berhentinya mulut ini bersuara kagum. Tuhan memang Arsitek yang luar biasa dalam menciptakan setiap lekukan keidahan alam ini. Di tengah asyiknya bercengkrama, tiba-tiba seorang warga lokal mendatangi kami, dia adalah seorang pemilik dari gazebo yang disediakan diatas tebing. Dengan mebayar Rp. 1000,- saja, kami bisa duduk diatas gazebo sembari bercengkrama dengan Drini.
Melalui sebuah perbincangan dengannya, kami tahu bahwa Drini merupakan nama sebuah tanaman yang banyak tumbuh di sepanjang tebing pantai ini. Oleh karena itu, warga sekitar menamai sebagai pantai Drini, pantai yang masih sangat asri dari Jogjakarta.













Dibuat terlena oleh keindahan alam Drini yang masih asri, tak terasa perut kami mulai bergejolak, kami berjalan, sembari berpamitan dengan tebing Drini. Tak perlu jauh untuk mengisi perut, di sepanjang pantai, banyak sekali dijumpai. Olahan Khas laut yang menggoda selera membuat perut kami terasa puas untuk diisi menu siang itu.
Selain alamnya yang indah, kami menemukan beberapa nelayan sedang asyik merajut jaring yang akan mereka bawa untuk menangkap ikan. Bercengkrama sembari merajut jaring yang rusak, wajah mereka tampak sumringah, tiada rasa takut akan ombak pantai selatan yang begitu besar. Laut memang menjadi salah satu ladang untuk tumpuan hidup mereka. Disinilah, pantai Drini menyimpan keunikan lain. Selain alamnya yang memanjakan mata, di Pantai inilah dijumpai nelayan beserta kapal-kapalnya. Menurut Mas Bejo, salah satu warga yang kami temui di tebing tadi, hanya disini dijumpai kapal-kapal serta nelayan yang siap untuk menangkap ikan.
Meskipun belum banyak yang mendengar pantai ini, namun tetap Drini, si asri yang masih tersembunyi ini menyimpan berjuta keindahan yang patut untuk  kita kunjungi. Inilah Jogja, dan inilah Indonesia, pesonanya tak kalah dengan negara belahan bumi manapun. Sekali lagi, Tuhan memang Maha Pencipta yang Agung. Selamat Berlibur dan menikmati keindahan alam Indonesia :)

(Foto By : Keke Meidyluana S)

Rabu, 23 Oktober 2013

Balada Si Mata-Mata



Balada Si Mata-Mata
#Part 1
            Ombak di laut terus menerjang pasir putih, menggeser bongkahan kecil karang yang terus mengikuti arus air.  Lampu putih yang terlihat redup di sebuah dermaga, suara kapal beradu bersama kerasnya suara ombak. Angin pun tak mau kalah beradu, derunya kian kencang, menarik lembut kain yang terpajang di pinggir gubuk biru. Bau khas laut menyeruak menuju hidung, dan bercampur dengan harumnya asap pembakaran. Bintang juga ikut beradu menghiasi malam, menebarkan jutaan kerlip bak permata. Semuanya beradu padu, menghiasi malam, begitu juga dengan hatinya, dia pun ikut menikmati indahnya malam itu.
            Sedikit, terlintas sebuah wajah yang berada dihadapnya, wajah yang tak asing baginya untuk dapat ia nikmati bersama indahnya suasana pantai kala itu. Awalnya dia hanya mencuri-curi ketika memandang sosok itu, meski wajah itu tak asing baginya, namun entah mengapa ia harus mencuri pandang. Senyumnya,  meski tak begitu indah, namun tutur katanya begitu sopan. Sikap santun yang ia kenal, terus diperhatikan tak kala dia hanya mencuri pandang lagi.
            Selalu mata bulat coklat itu mencuri pandang sebuah wajah oval bermata sayu. Hanya berani mencuri pandang, dan menahan sebuah rasa yang selalu ia kontrol agar tetap menjadi sebuah perasaan seorang sahabat. Iya, seorang sahabat yang terus ia gunakan untuk tetap bisa dekat dengannya dan menikmati wajah itu. Dulu, memang ada sebuah perasaan lebih dari sekedar perasaan sahabat. Perasaan itu sempat beradu menjadi satu, hingga menuju sebuah hubungan yang lebih pula dari seorang sahabat. Sejenak ia tersadar, akan sebuah rasa yang ia sebut sebagai perasaan egois, hingga akhirnya ia kehilangan perasaan lebih itu darinya.
            Meski kejadian itu sudah bertahun-tahun lamanya, meski ia pernah singgah di hati yang lainnya, namun ia tetap menyimpan perasaan lebih itu untuk si mata sayu. Kini si mata sayu telah bersama dengan seseorang di sana, perasaan si mata coklat terus ia kontrol agar tetap menjadi sebuah perasaan yang tak boleh lebih dari perasaan persahabatan. Mata sayu, si mata coklat akan terus mencuri pandang semua tentang dirimu, dan si mata coklat akan terus mengontrol perasaannya.

Selasa, 03 September 2013

Movie Script

eks. jalanan
sekita pukul 7 pagi, seorang lelaki menggunakan sepatu tali warna biru berjalan menuju sebuah rumah. (shoot cuma pada sepatu)
in teras rumah
seorang gadis menggunakan flat shoes berwarna coklat sedang duduk sembari menyilakan kakinya menunggu seseorang. menggerak-gerakkan kakinya. saat menunggu tiba-tiba sepatu tali datang, membuka pintu gerbang dan menghampiri gadis tersebut. kemudian mereka langsung pergi dengan berjalan akrab.
eks. halte
sepatu tali menghantarkan flat shoes menuju halte, dan disana kamera shoot bagian bawah bis yang datang. flat shoes berjalan naik menuju bis. kemudian sepatu tali berhenti sebentar dan melanjutkan perjalanan.
eks taman
seorang gadis menggunakan sepatu cats putih sedang duduk di kursi taman,ia menggoyang-goyangkan kakinya. (shoot semua pada sepatu). kemudian sepatu tali datang, mereka duduk bersama. mengobrol asyik.
in. lorong kampus
flat shoes berjalan dengan gugup menuju sebuah lorong yang ada sebuah papan pengumuman, dan disana banyak sekali kerumunan yang berusaha melihat sebuah pengumuman. flat shoes berusaha menerobos, dan dia berhenti sebentar. kemudian dia berlari bahagia menuju luar.
eks. lapak
flat shoes berjalan menuju sebuah lapak penjual bunga. dia terlihat begitu bahagia (shoot kaki) dan kemudian berjalan tak sabar menuju sebuah rumah.
EKS. EVERYWHARE
EKS TAMAN
sepatu cats dan sepatu tali masih mengobrol asyik.
eks. halaman rumah sepatu tali
flat shoes berada di depan gerbang rumah sepatu tali, dia mencari-cari, namun rumah terlihat sepi, dan dia tampak bingung(shoot kaki) kemudian dia berjalan.
EKS jalanan
memperlhatkan flat shoes berjalan tergesa-gesa menuju sebuah taman,
EKS TAMAN
kamera shoot pada sepatu cats yang sedag jinjit di depan sepatu tali, sepatu cats hendak mencium sepatu tali.
flat shoes berhenti di depan taman tempat sepatu cats dan sepatu tali berada. dia berhenti sekitar 10 meter di depan mereka, dan menjatuhkan sebuah bunga. flat shoes berhenti lama. sepatu tali mengetahui keberadaan flat shoes dan berusaha pergi dari depan sepatu cats. sementara sepatu cats turun dari jinjitnya.
EKS JALANAN
sepatu tali mengejar flat shoes,  namun flat shoes tak dapat dkejar lagi dan sepatu tali berhenti. sepatu cats datang, dan kemudian mengajak sepatu tali pergi. kamera shoot dari belakang, sepatu cats dan tali berjalan dekat.

Senin, 05 Agustus 2013

Cooking, Iam in Love!



Masak? Emm, mungkin bagi sebagian orang masak itu adalah hal yang sangat membosankan dan melelahkan, namun sebagian lagi bilang kalo masak itu menyenangkan. Kebanyakan orang berpendapat bahwa masak –memasak itu adalah tugas bagi kaum hawa yang hukumnya fardhu ain alias wajib, bagaimana nih pendapat kalian? Hehe.. kaum wanita dari jaman dahulu kala sering diidentitaskan sebagai kaum 3M , dimana mereka hanya diwajibkan untuk,  M yang pertama itu Macak, Manak, dan Masak. Tapi jaman sekarang udah berubah ya, jadi kaum wanita gak cuman bisa 3M itu saja, tapi setara dengan kaum adam. Kembali ke masak-memasak, walaupun jaman udah berubah nih, kita sebagai kaum perempuan tidak boleh lupa diri akan kewajiban dan kehaurusan yang satu ini nih. Yaitu masak, kenapa wajib? Bagi saya (penulis) kewajiban wanita untuk bisa memasak sangatlah mutlak, karena kita kelak akan menjadi Ibu rumah tangga, yang pekerjaannya merawat keluarga kita. Kalo kita gak bisa masak buat keluarga, terutama buta suami, pasti bete kan kalo mesti beli makanan mulu. Gak mau juga kan, suami sering keluar untuk mencari sensasi lain membeli makanan daripada di rumah. Kalo jajannya makanan doang sih gapapa ya, tapi kalo tiba-tiba ketemu yang lain kan repot juga. Hehee bukan nkaut-nakuti sih.
            Kebanyakan jajan di luar juga dapat mengakibatkan tumbuhnya berbagai penyakit. Kita gak tau apakah makanan yang kita konsumsi di luar, dimasak secara higenis atau tidak. Kalo kita bisa masak sendiri di rumah kan kebersihannya terjamin kan, dan dapat terhindar dari beberapa penyakit yang disebabkan oleh makanan siap saji. Untuk itu, sebagai kaum wanita kita harus bisa memasak, selain untuk berbagai alasan tadi, masak juga bisa membuat mood kita menjadi seneng nih teman. Pengalamanku sih, kalo lagi bete sukanya masak, pasti bete kita bakal ilang, apalagi kalo udah nyicipin makanan yang kita buat sendiri, seneng banget, hehe.
            Sayang banget kalo ada wanita yang gak bisa masak, alesannya beragam, ada yang bilang takut rambut lepek, takut panas, takut piso, keringetan dan bla bla bla bla... Di era modern sekarang ini, jaman sudah canggih, peralatan masak juga udah canggih, kenapa mesti males buat masak teman? Cooking is just not a hoby, but its a must for women. Tuh, buat yang punya cita-cita pengen jadi ibu yang baik buat keluarga, salah satunya kita harus bisa menyajikan hidangan buat keluarga kita, gak perlu mewah, sederhana asal masakan sendiri pasti di sukai. Yuk memasak J



Kamis, 02 Mei 2013

Rainy Summer

“ Rainy Summer”
Rintik hujan yang jatuh perlahan membasahi jalan hitam yang mulai berlubang itu. Atap seluruh bangunan yang kokoh berdiri pun tak luput dari sapuan beningnya. Tak ada sinar terik yang selalu dikeluhkan setiap harinya, hanya payung yang berjalan menyusuri pedestrian kota. Dinginnya kota selalu membuat orang-orang di sekeliling menutup dirinya rekat-rekat di dalam rumah untuk mencari kehangatan. Namun, berbeda denganku yang selalu ingin keluar kala hujan datang mengguyur kota ini. Aku menyukai rintikannya,  rintikan hujan yang jatuh dari langit membuatku sangat terkagum melihatnya, merasakannya yang menetes di tubuh mungilku dan meman pelangi ketika hujan berhenti bermain denganku.
Bau rumah sakit membuatku semakin bosan berbaring disini, sudah hampir seminggu lamanya aku menjadi penghuni tempat ini. Aku rindu akan hujan di luar sana, merasakan tetesan demi tetesan yang membasahi tubuhku, memandang bunga bakung yang terhampar luas di taman belakang rumah, dan menyaksikan hewan lembab bermunculan. “Hai Summer, kenapa murung sayang?” tanya seorang suster yang datang tanpa memberi tanda kehadirannya. “Aku memandang hujan suster, aku ingin main ke tempat itu” jariku menunjuk ke arah taman belakang rumah sakit “bosan berada di sini” tandasku pada suster Ella yang sudah mulai akrab denganku. Aku tahu, pasti suster Ella tak mengizinkanku bermain di sana, padahal aku sudah sangat ingin bermain bersama rintikan hujan. Kali ini harus mengubur keinginanku untuk bermain ke  taman dan bermain bersama rintik hujan.
Bandung, hari ini diguyur hujan membut beberapa tempat mengalami kebanjiran, beberapa orang ada yang menyalahkan hujan, mereka berpikir hujan adalah penyebab kesengsaraan mereka, rumah mereka terendam air, banyak yang kecelakaan gara-gara mengebut menghindari hujan dan banyak lagi alasan yang tak ku sukai lainnya. Bagiku, hujan tidaklah sejahat itu, hujan turun sebagaimana mestinya ia datang, memberikan tetesan kehidupan kepada makhluk bumi yang mulai haus akan air. Itu salah mereka, mengapa mereka tak merawat apa yang telah Tuhan berikan, mereka acuh terhadap apa yang ada di muka bumi ini. Lagi-lagi aku kesal dengan pemberitaan media hari ini yang mengekspose hujan, seolah-olah dia benar-benar jahat bagi para makhluk bumi. Mama melihat raut kesalku sambil terus melanjutka mengoles selai di atas sisiran roti.
“Kapan musim panas dateng ya dek? Cucian mama susah kering nih” mama mengeluh, lagi-lagi ada yang menyalahkan hujan, “biarin aja hujan turun” , mama hanya mengerutkan dahinya dan kemudian tak berkata-kata lagi. Bosan, setiap hari hanya berbaring tanpa aktifitas yang berarti, aku rindu sekolah, aku rindu bermain bersama sahabat-sahabatku, Dea dan Lila, dan aku rindu bermain di padang bunga bakung bersama Harry. Sahabat kecilku itu membuatku semakin rindu dan semakin ingin keluar dari tempat membosankan ini. “Ma, kapan aku bisa pulang Ma?” rengekku sebagai jurus membujuk mama agar mengeluarkanku dari tempat ini. Sebenarnya aku sudah terbiasa dengan Rumah Sakit, dari kecil aku sering menginap di tempat ini, mendapat perawatan yang lama dan menghilangkan masa kanak-kanakku yang indah. Mama adalah sosok orang yang sangat sabar menghadapiku, beliau benar-benar wanita hebat yang hadir dalam hidupku, memberikan kesejukan bak air hujan yang menetes kulitku. Aku tak ingin menyusahkannya seperti ini terus-menerus, aku ingin menyusul ayah di sana, tempat yang abadi yang tak merepotkan orang yang ku sayang.
Hari ini, aku menikmati lagi masa yang sempat hilang beberapa hari kemarin, merasakan suasana gaduh kelas, merasakan nikmatnya belajar bersama. Senyumku kembali mengembang hari ini, aku kembali beraktifitas seperti yang lain. Tak pernah merasa sedih setelah keluar dari rumah sakit akibat penyakit yang kini kujadikan sahabat. Aku tak ingin diistimewakan oleh orang di sekitarku karena keadaanku seperti ini. Bertingkah bak orang yang sehat tanpa masalah pada organ penting dalam tubuhnya, bertindak bebas tanpa harus memikirkan penyakit yang ada menjadikan tubuhnya sebagai rumah idamannya.  Aku iri dengan burung yang bisa terbang bebas menikmati butiran hujan langsung dari udara, aku hanya bisa melihat butiran hujan seudah merasakan kepuasan dalam diri.
Canda tawa kami menggema di ruang kelas, menikmati guyonan yang dibuat oleh Lila dan Dea, bersama mereka adalah kebahagian yang tak tergantikan oleh apapun. Dea beranjak dari tempat duduknya dan melihat kea rah halaman sekolah, hujan sedang mengguyur Bandung siang ini. “Aduuh, kenapa hujan dateng lagi sih!” kesalnya , “hujan itu indah, membawa sejuta kesejukan dalam tubuh ini, damai dan merdu suaranya”  protesku pada Dea. Lila menatapku lekat-lekat, “gue heran deh, nama sama kesukaan lo tuh nggak sinkron mer” “iya, Summer itu musim panas, dan seharusnya itu, nama lo diganti aja Rainy gitu” tambahnya, kami bertiga terkekeh mendengar perkataan itu.
Mama memberiku nama Summer karena dia ingin aku sebagai anak yang selalu cerah di sepanjang usia. Menjadi cahaya yang tiada henti menyinari kehidupan, memberikan kehangatan dan selalu bahagia selamanya. Seperti matahari yang selalu memberikan sinar cerahnya untuk kehidupan Makhluk di bumi yang indah ini. Hujan sedang berhenti siang ini, aku ingin melepas kerinduan di taman bunga bakung yang mekar saat musim hujan dan memetik bunga bersama Harry.
Tebakanku benar kali ini, Harry ternyata sedang berada di sana memandang bunga dari atas gubuk tua yang berdiri di sudut kebun. Percobaanku untuk mengagetkan Harry ternyata tidak berhasil, “yahh gagal” , “lo ngapain ke sini? Gak dilarang sama Mama Nera?” Harry mencoba menggodaku. Aku berjalan kemudian duduk di sebelahnya, “mama lagi pergi, jadi aku main ke sini aja, bosen di rumah” sambil terus memainkan kaki yang menggantung tak dapat meraih tanah di bawahnya. Harry menatap penuh perhatian pada kebun bunga, dan mataku terus mengekori gerak-geriknya. Dia adalah sahabat yang perlahan tumbuh menjadi cinta pertama dalam hidupku, diam-diam menyukainya tanpa ada yang tahu.
Mama memarahiku hari ini, mendengar aduan bibi kalo tadi bermain ke kebun, kemarahan mama memang sangat beralasan. Dia tak ingin sesuatu terjadi padaku, tak ingin kehilangan putri semata wayangnya yang sangat ia cintai. Aku hanya tertunduk lesu mendengarkan mama berbicara memarahiku, “mulai besok kamu home schooling  aja” kata-kata mama benar-benar tak ku sangka. Aku terkejut mendengarnya, mama benar-benar mengkhawatirkan keadaanku “Ma?, aku ingin sekolah di sekolah formal” pintaku. Mama diam dan tak merespon keinginanku, aku memahami maksud mama, namun aku tak ingin kesepian di rumah tanpa ada canda teman-teman yang setiap hari menghiasi hariku.
Sudah 5 bulan aku menjalani homeschooling, melihat wajah mama yang setiap hari cerah memandangiku, sedikit mengurangi khawatir yang selama ini selalu dipikirkannya. Sebentar lagi musim kemarau, yah.. aku tak bisa melihat hujan beberapa bulan lamanya. Semoga aku masih bisa melihat hujan, sebelum mata ini tak membuka lagi, dan sebelum nafasku berhenti berhembus. Semakin hari semakin berkurang hujan yang turun, tak seperti biasanya, ingin sekali aku menikmatinya lagi, sembari memandang bunga bakung yang tumbuh luas di kebun. Sebentar lagi bunga-bunga yang tumbuh di taman itu akan layu dan tak kan mekar lagi tanpa kehadiran hujan.
Suara bel rumah berbunyi 3 kali, dalam hati aku menghitungnya sambil berbaring di kamar, pintu kamar yang tertutup perlahan terbuka. Harry datang dengan seikat bunga bakung merah yang ia petik di kebun, tempat kita. “Ini aku bawain bunga kesukaanmu” katanya datar, aku terkejut melihatnya membawa bunga kesukaanku, “Harry, makasi”, “aku bosan, bagaimana bunga-bunga di sana? Tumbuh subur kah?” cemasku karena hujan sudah jarang datang. Harry menghela nafas panjang sebelum ia beranjak dari tempat duduknya, “gak usah dipikirin, aku bakal jaga tanaman yang kamu suka hingga tumbuh subur” katanya menenangkanku. Aku terdiam sejenak, berpikir untuk kesekian kalinya aku ingin pergi ke sana melihat bunga sebelum hujan berhenti, “ajak aku ke sana, tolong” ini kesekian kalinya aku memohon pada Harry untuk mengantarkanku ke tempat itu, dia tercengang mendengar permintaanku yang tak mudah untuk di jawab. Terlalu lama ia berdiam sebelum akhirnya mengiyakan apa yang ku inginkan.
Harry mengendarai sepeda dengan pelan, sementara aku berpegangan erat pada pinggangnya. Udara sore itu dingin sekali, bau basah hujan masih tajam menusuk hidungku yang peka. Menikmati hembusan angin di sepanjang perjalanan, melihat dedaunan yang terlihat basah dan melihat burung kembali keluar dari sarangnya. Aku memejamkan mata, menikmati segala yang telah Tuhan berikan, alam yang indah. “kita sudah sampai” tengok Harry, aku bergegas turun dari sepeda dan berjalan mengelilingi kebun. Warna merah menghiasi kebun , seolah menyambutku bak seorang putrid yang berjalan menuju karpet merah. Ini seperti surga bagiku, kedamaian dan keindahan yang ku pandang, aku tak merasa sebagai orang yang menanti waktu untuk pergi dari indahnya dunia ini, dan meninggalkan hujan.
“Jika aku pergi, jagalah bunga ini dengan baik ya,” , Harry mengerutkan dahinya, “aku tak ingin menjadi Summer yang merusak kedamaiannya, aku ingin selalu menikmati keindahannya bersama hujan.” Gerimis kembali datang, “ayo kita berteduh” Harry menggenggam tanganku erat membawaku ke gubuk di tengah kebun untuk berteduh. Air mata ini perlahan menetes, butirannya terus mengalir deras membasahi pipiku yang terlalu kering. “Seharusnya, aku tak membawamu ke sini, hujan semakin deras” Harry terus menyalahkan dirinya yang telah membawa Summer ke tempat itu. “Wajahmu pucat sekali, kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kecemasan. Kini aku bisa merasakan hujan menetes dan membasahi tubuhku, setelah sekian lama tak ku rasakan. Tubuh ini semakin lemas, terhanyut oleh hujan yang membasahiku, dinginnya terlalu dalam menusuk tulang, hingga ku tak sanggup untuk bernapas.
Hujan tak berhenti dari tadi, sejak aku berada di kebun hingga aku telah berbaring di atas kasur kamar yang telalu hangat. Mama yang membawaku kemari, selang oksigen kembali menutupi hidungku, membantuku bernapas dengan baik. Perjuanganku semakin rapuh untuk bertahan, dia yang telah berdiam di dalam tubuhku bertahun-tahun yang lalu, semakin kuat membawaku ikut bersama hujan. Mama menangis di sudut kamar, namun ia menyembunyikannya dariku, sedangkan Harry, terlihat begitu bersalah, ia terus menatapku. Seikat bunga bakung yang dibawanya, kini telah mengihiasi kamarku, air yang menggenangi tangkainya membantunya untuk kuat dan tetap indah, meski tak bertahan lama ia menampakkan keindahannya.
Mataku berpaling kearah mama berdiri, Mama tak terlalu pintar menyembunyikan kesedihannya, “Ma, aku yang mengajak ke sana, aku ingin melihat bunga mekar di kebun, jangan salahkan Harry ya Ma” Mama mengangguk dengan air mata yang semakin deras mengalir di pipinya, sementara Harry hanya terdiam. Aku tahu apa yang ia rasakan, bersalah itulah rasa yang kini berada dalam dirinya, “Aku bakal terus mekar kok, mekar dalam hati kalian, bersinar bagaikan matahari yang tak pernah berhenti untuk menyinari bumi” senyumku mengembang, agar mereka tak terlalu larut dengan apa yang di rasakan. Bak ranting yang terhempas angin kencang, dia patah dan terjatuh dari batang yang menyangganya. Kini, aku telah rapuh, pertahananku kalah oleh dia yang telah lama berdiam dalam tubuhku, menjatuhkanku bagaikan ranting tadi dan perlahan dia menutup mataku, membawaku dalam kesuah kedamaian abadi.
Kini, hujan mengiringi kepergianku, menjemputku untuk ikut bersamanya. Apa yang aku sukai yaitu Hujan telah mengantarkanku ke tempat yang abadi. Disana, aku bisa bermain dengan hujan sesuka hatiku, tanpa harus tunduk pada sebuah penyakit yang sempat menghentikanku untuk menikmati hujan. Musim hujan telah terganti oleh musim panas, kini apa yang orang harapkan telah datang. Bias cahaya membentuk setengah lingkaran berwarna yang mengiasi langit sore itu. Aku pergi dengan hujan, panas dan pelangi menyambut kepergianku dengan, dan mengucapkan selamat tinggal. Mama, Harry , Lia , Dea dan mereka yang ku cintai lainnya, melepasku dengan tangis yang berujung pada sebuah pengikhlasan.
“Hujan bukanlah sebuah kesalahan, dia datang membawa air kedamaian, menghidupkan bunga-bunga yang mekar. Dia datang membawa kehidupan yang damai, meski banyak orang yang tak menyadari perannya dan selalu menyalahkan. Hujan dan Matahari sama-sama sumber penting dalam kehidupan di bumi. Namun, cintaku pada hujan lebih dalam, dia yang menumbuhkan bunga bakung itu, bunga indah yang banyak tumbuh kala hujan datang. Summer juga suka pada matahari, ketika hujan pergi dan ketika matahari muncul, darisitulah pelangi tersenyum. Aku Summer dan aku menyukai hujan, matahari, pelangi, dan bunga bakung, dan tentu aku mencintai Mama. Terima kasih mama, Summer.