“
Rainy Summer”
Rintik hujan
yang jatuh perlahan membasahi jalan hitam yang mulai berlubang itu. Atap
seluruh bangunan yang kokoh berdiri pun tak luput dari sapuan beningnya. Tak
ada sinar terik yang selalu dikeluhkan setiap harinya, hanya payung yang
berjalan menyusuri pedestrian kota. Dinginnya kota selalu membuat orang-orang
di sekeliling menutup dirinya rekat-rekat di dalam rumah untuk mencari
kehangatan. Namun, berbeda denganku yang selalu ingin keluar kala hujan datang
mengguyur kota ini. Aku menyukai rintikannya,
rintikan hujan yang jatuh dari langit membuatku sangat terkagum
melihatnya, merasakannya yang menetes di tubuh mungilku dan meman pelangi
ketika hujan berhenti bermain denganku.
Bau rumah sakit
membuatku semakin bosan berbaring disini, sudah hampir seminggu lamanya aku
menjadi penghuni tempat ini. Aku rindu akan hujan di luar sana, merasakan
tetesan demi tetesan yang membasahi tubuhku, memandang bunga bakung yang
terhampar luas di taman belakang rumah, dan menyaksikan hewan lembab
bermunculan. “Hai Summer, kenapa murung sayang?” tanya seorang suster yang
datang tanpa memberi tanda kehadirannya. “Aku memandang hujan suster, aku ingin
main ke tempat itu” jariku menunjuk ke arah taman belakang rumah sakit “bosan
berada di sini” tandasku pada suster Ella yang sudah mulai akrab denganku. Aku
tahu, pasti suster Ella tak mengizinkanku bermain di sana, padahal aku sudah
sangat ingin bermain bersama rintikan hujan. Kali ini harus mengubur
keinginanku untuk bermain ke taman dan
bermain bersama rintik hujan.
Bandung, hari
ini diguyur hujan membut beberapa tempat mengalami kebanjiran, beberapa orang
ada yang menyalahkan hujan, mereka berpikir hujan adalah penyebab kesengsaraan
mereka, rumah mereka terendam air, banyak yang kecelakaan gara-gara mengebut
menghindari hujan dan banyak lagi alasan yang tak ku sukai lainnya. Bagiku,
hujan tidaklah sejahat itu, hujan turun sebagaimana mestinya ia datang,
memberikan tetesan kehidupan kepada makhluk bumi yang mulai haus akan air. Itu
salah mereka, mengapa mereka tak merawat apa yang telah Tuhan berikan, mereka
acuh terhadap apa yang ada di muka bumi ini. Lagi-lagi aku kesal dengan
pemberitaan media hari ini yang mengekspose hujan, seolah-olah dia benar-benar
jahat bagi para makhluk bumi. Mama melihat raut kesalku sambil terus melanjutka
mengoles selai di atas sisiran roti.
“Kapan musim
panas dateng ya dek? Cucian mama susah kering nih” mama mengeluh, lagi-lagi ada
yang menyalahkan hujan, “biarin aja hujan turun” , mama hanya mengerutkan
dahinya dan kemudian tak berkata-kata lagi. Bosan, setiap hari hanya berbaring
tanpa aktifitas yang berarti, aku rindu sekolah, aku rindu bermain bersama
sahabat-sahabatku, Dea dan Lila, dan aku rindu bermain di padang bunga bakung
bersama Harry. Sahabat kecilku itu membuatku semakin rindu dan semakin ingin
keluar dari tempat membosankan ini. “Ma, kapan aku bisa pulang Ma?” rengekku
sebagai jurus membujuk mama agar mengeluarkanku dari tempat ini. Sebenarnya aku
sudah terbiasa dengan Rumah Sakit, dari kecil aku sering menginap di tempat
ini, mendapat perawatan yang lama dan menghilangkan masa kanak-kanakku yang
indah. Mama adalah sosok orang yang sangat sabar menghadapiku, beliau
benar-benar wanita hebat yang hadir dalam hidupku, memberikan kesejukan bak air
hujan yang menetes kulitku. Aku tak ingin menyusahkannya seperti ini
terus-menerus, aku ingin menyusul ayah di sana, tempat yang abadi yang tak
merepotkan orang yang ku sayang.
Hari ini, aku
menikmati lagi masa yang sempat hilang beberapa hari kemarin, merasakan suasana
gaduh kelas, merasakan nikmatnya belajar bersama. Senyumku kembali mengembang
hari ini, aku kembali beraktifitas seperti yang lain. Tak pernah merasa sedih
setelah keluar dari rumah sakit akibat penyakit yang kini kujadikan sahabat.
Aku tak ingin diistimewakan oleh orang di sekitarku karena keadaanku seperti
ini. Bertingkah bak orang yang sehat tanpa masalah pada organ penting dalam
tubuhnya, bertindak bebas tanpa harus memikirkan penyakit yang ada menjadikan
tubuhnya sebagai rumah idamannya. Aku
iri dengan burung yang bisa terbang bebas menikmati butiran hujan langsung dari
udara, aku hanya bisa melihat butiran hujan seudah merasakan kepuasan dalam
diri.
Canda tawa kami
menggema di ruang kelas, menikmati guyonan yang dibuat oleh Lila dan Dea,
bersama mereka adalah kebahagian yang tak tergantikan oleh apapun. Dea beranjak
dari tempat duduknya dan melihat kea rah halaman sekolah, hujan sedang
mengguyur Bandung siang ini. “Aduuh, kenapa hujan dateng lagi sih!” kesalnya ,
“hujan itu indah, membawa sejuta kesejukan dalam tubuh ini, damai dan merdu
suaranya” protesku pada Dea. Lila
menatapku lekat-lekat, “gue heran deh, nama sama kesukaan lo tuh nggak sinkron
mer” “iya, Summer itu musim panas, dan seharusnya itu, nama lo diganti aja
Rainy gitu” tambahnya, kami bertiga terkekeh mendengar perkataan itu.
Mama memberiku
nama Summer karena dia ingin aku sebagai anak yang selalu cerah di sepanjang
usia. Menjadi cahaya yang tiada henti menyinari kehidupan, memberikan
kehangatan dan selalu bahagia selamanya. Seperti matahari yang selalu
memberikan sinar cerahnya untuk kehidupan Makhluk di bumi yang indah ini. Hujan
sedang berhenti siang ini, aku ingin melepas kerinduan di taman bunga bakung
yang mekar saat musim hujan dan memetik bunga bersama Harry.
Tebakanku benar
kali ini, Harry ternyata sedang berada di sana memandang bunga dari atas gubuk
tua yang berdiri di sudut kebun. Percobaanku untuk mengagetkan Harry ternyata
tidak berhasil, “yahh gagal” , “lo ngapain ke sini? Gak dilarang sama Mama
Nera?” Harry mencoba menggodaku. Aku berjalan kemudian duduk di sebelahnya,
“mama lagi pergi, jadi aku main ke sini aja, bosen di rumah” sambil terus
memainkan kaki yang menggantung tak dapat meraih tanah di bawahnya. Harry
menatap penuh perhatian pada kebun bunga, dan mataku terus mengekori
gerak-geriknya. Dia adalah sahabat yang perlahan tumbuh menjadi cinta pertama
dalam hidupku, diam-diam menyukainya tanpa ada yang tahu.
Mama memarahiku
hari ini, mendengar aduan bibi kalo tadi bermain ke kebun, kemarahan mama
memang sangat beralasan. Dia tak ingin sesuatu terjadi padaku, tak ingin
kehilangan putri semata wayangnya yang sangat ia cintai. Aku hanya tertunduk
lesu mendengarkan mama berbicara memarahiku, “mulai besok kamu home schooling aja” kata-kata mama benar-benar tak ku sangka.
Aku terkejut mendengarnya, mama benar-benar mengkhawatirkan keadaanku “Ma?, aku
ingin sekolah di sekolah formal” pintaku. Mama diam dan tak merespon
keinginanku, aku memahami maksud mama, namun aku tak ingin kesepian di rumah
tanpa ada canda teman-teman yang setiap hari menghiasi hariku.
Sudah 5 bulan
aku menjalani homeschooling, melihat
wajah mama yang setiap hari cerah memandangiku, sedikit mengurangi khawatir
yang selama ini selalu dipikirkannya. Sebentar lagi musim kemarau, yah.. aku
tak bisa melihat hujan beberapa bulan lamanya. Semoga aku masih bisa melihat
hujan, sebelum mata ini tak membuka lagi, dan sebelum nafasku berhenti
berhembus. Semakin hari semakin berkurang hujan yang turun, tak seperti
biasanya, ingin sekali aku menikmatinya lagi, sembari memandang bunga bakung
yang tumbuh luas di kebun. Sebentar lagi bunga-bunga yang tumbuh di taman itu
akan layu dan tak kan mekar lagi tanpa kehadiran hujan.
Suara bel rumah
berbunyi 3 kali, dalam hati aku menghitungnya sambil berbaring di kamar, pintu
kamar yang tertutup perlahan terbuka. Harry datang dengan seikat bunga bakung
merah yang ia petik di kebun, tempat kita. “Ini aku bawain bunga kesukaanmu”
katanya datar, aku terkejut melihatnya membawa bunga kesukaanku, “Harry,
makasi”, “aku bosan, bagaimana bunga-bunga di sana? Tumbuh subur kah?” cemasku
karena hujan sudah jarang datang. Harry menghela nafas panjang sebelum ia
beranjak dari tempat duduknya, “gak usah dipikirin, aku bakal jaga tanaman yang
kamu suka hingga tumbuh subur” katanya menenangkanku. Aku terdiam sejenak,
berpikir untuk kesekian kalinya aku ingin pergi ke sana melihat bunga sebelum
hujan berhenti, “ajak aku ke sana, tolong” ini kesekian kalinya aku memohon
pada Harry untuk mengantarkanku ke tempat itu, dia tercengang mendengar
permintaanku yang tak mudah untuk di jawab. Terlalu lama ia berdiam sebelum
akhirnya mengiyakan apa yang ku inginkan.
Harry
mengendarai sepeda dengan pelan, sementara aku berpegangan erat pada
pinggangnya. Udara sore itu dingin sekali, bau basah hujan masih tajam menusuk
hidungku yang peka. Menikmati hembusan angin di sepanjang perjalanan, melihat
dedaunan yang terlihat basah dan melihat burung kembali keluar dari sarangnya. Aku
memejamkan mata, menikmati segala yang telah Tuhan berikan, alam yang indah.
“kita sudah sampai” tengok Harry, aku bergegas turun dari sepeda dan berjalan
mengelilingi kebun. Warna merah menghiasi kebun , seolah menyambutku bak
seorang putrid yang berjalan menuju karpet merah. Ini seperti surga bagiku,
kedamaian dan keindahan yang ku pandang, aku tak merasa sebagai orang yang
menanti waktu untuk pergi dari indahnya dunia ini, dan meninggalkan hujan.
“Jika aku pergi,
jagalah bunga ini dengan baik ya,” , Harry mengerutkan dahinya, “aku tak ingin
menjadi Summer yang merusak kedamaiannya, aku ingin selalu menikmati
keindahannya bersama hujan.” Gerimis kembali datang, “ayo kita berteduh” Harry
menggenggam tanganku erat membawaku ke gubuk di tengah kebun untuk berteduh.
Air mata ini perlahan menetes, butirannya terus mengalir deras membasahi pipiku
yang terlalu kering. “Seharusnya, aku tak membawamu ke sini, hujan semakin
deras” Harry terus menyalahkan dirinya yang telah membawa Summer ke tempat itu.
“Wajahmu pucat sekali, kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kecemasan. Kini aku
bisa merasakan hujan menetes dan membasahi tubuhku, setelah sekian lama tak ku
rasakan. Tubuh ini semakin lemas, terhanyut oleh hujan yang membasahiku,
dinginnya terlalu dalam menusuk tulang, hingga ku tak sanggup untuk bernapas.
Hujan tak
berhenti dari tadi, sejak aku berada di kebun hingga aku telah berbaring di
atas kasur kamar yang telalu hangat. Mama yang membawaku kemari, selang oksigen
kembali menutupi hidungku, membantuku bernapas dengan baik. Perjuanganku
semakin rapuh untuk bertahan, dia yang telah berdiam di dalam tubuhku
bertahun-tahun yang lalu, semakin kuat membawaku ikut bersama hujan. Mama
menangis di sudut kamar, namun ia menyembunyikannya dariku, sedangkan Harry,
terlihat begitu bersalah, ia terus menatapku. Seikat bunga bakung yang
dibawanya, kini telah mengihiasi kamarku, air yang menggenangi tangkainya
membantunya untuk kuat dan tetap indah, meski tak bertahan lama ia menampakkan
keindahannya.
Mataku berpaling
kearah mama berdiri, Mama tak terlalu pintar menyembunyikan kesedihannya, “Ma,
aku yang mengajak ke sana, aku ingin melihat bunga mekar di kebun, jangan
salahkan Harry ya Ma” Mama mengangguk dengan air mata yang semakin deras
mengalir di pipinya, sementara Harry hanya terdiam. Aku tahu apa yang ia
rasakan, bersalah itulah rasa yang kini berada dalam dirinya, “Aku bakal terus
mekar kok, mekar dalam hati kalian, bersinar bagaikan matahari yang tak pernah
berhenti untuk menyinari bumi” senyumku mengembang, agar mereka tak terlalu
larut dengan apa yang di rasakan. Bak ranting yang terhempas angin kencang, dia
patah dan terjatuh dari batang yang menyangganya. Kini, aku telah rapuh,
pertahananku kalah oleh dia yang telah lama berdiam dalam tubuhku,
menjatuhkanku bagaikan ranting tadi dan perlahan dia menutup mataku, membawaku
dalam kesuah kedamaian abadi.
Kini, hujan
mengiringi kepergianku, menjemputku untuk ikut bersamanya. Apa yang aku sukai
yaitu Hujan telah mengantarkanku ke tempat yang abadi. Disana, aku bisa bermain
dengan hujan sesuka hatiku, tanpa harus tunduk pada sebuah penyakit yang sempat
menghentikanku untuk menikmati hujan. Musim hujan telah terganti oleh musim
panas, kini apa yang orang harapkan telah datang. Bias cahaya membentuk
setengah lingkaran berwarna yang mengiasi langit sore itu. Aku pergi dengan
hujan, panas dan pelangi menyambut kepergianku dengan, dan mengucapkan selamat
tinggal. Mama, Harry , Lia , Dea dan mereka yang ku cintai lainnya, melepasku
dengan tangis yang berujung pada sebuah pengikhlasan.
“Hujan bukanlah
sebuah kesalahan, dia datang membawa air kedamaian, menghidupkan bunga-bunga
yang mekar. Dia datang membawa kehidupan yang damai, meski banyak orang yang
tak menyadari perannya dan selalu menyalahkan. Hujan dan Matahari sama-sama
sumber penting dalam kehidupan di bumi. Namun, cintaku pada hujan lebih dalam,
dia yang menumbuhkan bunga bakung itu, bunga indah yang banyak tumbuh kala
hujan datang. Summer juga suka pada matahari, ketika hujan pergi dan ketika
matahari muncul, darisitulah pelangi tersenyum. Aku Summer dan aku menyukai
hujan, matahari, pelangi, dan bunga bakung, dan tentu aku mencintai Mama.
Terima kasih mama, Summer. “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar