Jumat, 24 Agustus 2012

“Kosong”


“Kosong”
Wajahnya memandangi dinding yang terpasang kokoh yang tersangga oleh baja. Waktu terus berdetik, menghitung hatinya yang tergelitik oleh hujan rintik. Matanya menatap lekat, jendela biru tanpa sekat, dan menghilangkan yang ia rasakan, penat.  Lintingan hangat terus ia hisap, menimbulkan kepulan putih asap.
“Mana ada suara” , “maksud lo suara apa? Ini juga suara” , “bukan suaramu yang aku inginkan”, “maksud lo?” “disini hanya aku dan kamu yang bersuara dan aku tak ingin suara itu”
Hisapan demi hisapan terus ia lakukan, suara hujan terus bergemuruh, hatinya semakin ingin berteduh. “Gue hanya pengen suara tapi bukan suara lo” , “emang kenapa suara gue?” “suara lo biking gue sesek”.
Suara itu benar tak kunjung datang, gemuruh suara hujan ia abaikan, bukan suara itu yang ia inginkan. Sehari sudah ia menunggu suara itu, suara yang ia dambakan untuk menghilangkan rasa kosong. Rasa yang membuatnya semakin bengong, menjadikan dia bak bagong yang terus menginginkan suara.
“Mana , dia mana?” , “apa yang lo cari?” “gue butuh suaranya bukan suara lo” begitulah kata yang selalu ia ucapkan pada sebuah ponsel tua yang terus bersuara. Suaranya yang membuatnya semakin sesak, suara yang ia anggap persak. Ponsel tua yang tergeletak dan membuatnya tak bergerak. Ponsel yang bersuara tak enak, membuatnya semakin tak jenak menikmati puntung demi puntung yang ia hisap.
Suara seorang ibu yang ingin ia dengar, dia yang bisa membuatnya luluh dibalik wajahnya yang sangar. Suara  yang sangat ia rindu, setelah ditinggal sewindu. Telinga dan hatinya yang kosong, tanpa suara itu. Suaranya hangat, membuatnya terus ingin menatap, membuatnya selalu pandai dalam berbuat. Namun, kini beliau sudah wafat, tak ada lagi suara  penghilang penat, tak ada lagi suara yang membuatnya tetap hangat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar