“Kosong”
Wajahnya
memandangi dinding yang terpasang kokoh yang tersangga oleh baja. Waktu terus
berdetik, menghitung hatinya yang tergelitik oleh hujan rintik. Matanya menatap
lekat, jendela biru tanpa sekat, dan menghilangkan yang ia rasakan, penat. Lintingan hangat terus ia hisap, menimbulkan
kepulan putih asap.
“Mana ada
suara” , “maksud lo suara apa? Ini juga suara” , “bukan suaramu yang aku
inginkan”, “maksud lo?” “disini hanya aku dan kamu yang bersuara dan aku tak
ingin suara itu”
Hisapan
demi hisapan terus ia lakukan, suara hujan terus bergemuruh, hatinya semakin
ingin berteduh. “Gue hanya pengen suara tapi bukan suara lo” , “emang kenapa
suara gue?” “suara lo biking gue sesek”.
Suara itu
benar tak kunjung datang, gemuruh suara hujan ia abaikan, bukan suara itu yang
ia inginkan. Sehari sudah ia menunggu suara itu, suara yang ia dambakan untuk
menghilangkan rasa kosong. Rasa yang membuatnya semakin bengong, menjadikan dia
bak bagong yang terus menginginkan suara.
“Mana , dia
mana?” , “apa yang lo cari?” “gue butuh suaranya bukan suara lo” begitulah kata
yang selalu ia ucapkan pada sebuah ponsel tua yang terus bersuara. Suaranya
yang membuatnya semakin sesak, suara yang ia anggap persak. Ponsel tua yang
tergeletak dan membuatnya tak bergerak. Ponsel yang bersuara tak enak,
membuatnya semakin tak jenak menikmati puntung demi puntung yang ia hisap.
Suara
seorang ibu yang ingin ia dengar, dia yang bisa membuatnya luluh dibalik wajahnya
yang sangar. Suara yang sangat ia rindu,
setelah ditinggal sewindu. Telinga dan hatinya yang kosong, tanpa suara itu. Suaranya
hangat, membuatnya terus ingin menatap, membuatnya selalu pandai dalam berbuat.
Namun, kini beliau sudah wafat, tak ada lagi suara penghilang penat, tak ada lagi suara yang
membuatnya tetap hangat.