Bulan Desember, bulan dimana orang-orang yang berada di belahan bumi utara sana sedang asyik menikmati butiran salju yang turun. Menambah suasana khas Natal semakin terasa lengkap, nuansa putih dan merah sudah terpajang disana-sini. Namun, berbeda di negeri yang tak pernah di sambangi oleh salju ini, dia punya keindahan tersendiri. Di sebuah kota di Provinsi paling Selatan Pulau Jawa ini salah satunya, salah satu kota yang masih kental budayanya , punya keindahan yang tidak terkalahkan. Untuk sebuah tugas kuliah, saya bersama teman-teman memutuskan untuk mengunjungi kota yang saya nobatkan sebagai kota Romantis. Yah, romantis, entah kenapa saya begitu menyukai Jogja, bagi saya, setiap keindahan di Jogja memiliki unsur romantis tersendiri.
Kami, memulai perjalanan pada hari Sabtu 7 Desember 2013, dengan mengendarai mobil yang kami sewa bersama, mulailah kami menjajal untuk menjadi seorang Traveller.Cuaca pagi itu terlihat cukup kusam untuk disapa, matahari masih belum muncul dengan sempurna. Sekitar pukul 08.00 WIB, kami berangkat dari penginapan yang letaknya tak jauh dari Alun-alun Selatan Jogja. Tujuan kita kali ini adalah sebuah tempat yang letaknya berada di balik sebuah perbukitan kapur.
Sepanjang perlajanan, kami disuguhi tebing-tebing yang menjulang, membuat kami terasa terhipnotis menikmati karya Tuhan nan Agung. Pahatan alam yang tak sanggup dikerjakan manusia, menambah kenikmatan perjalanan kami. Dua jam sudah kami menghabiskan perjalanan, yang berkelok khas perbukitan, dan sampailah kami di sebuah tempat yang kita tuju.
kami melihat, sepanjang jalan, terdapat perpaduan yang sangat elegan, pemandangan pantai yang beradu dengan patahan tebing-tebing sungguh menggugah kami untuk cepat-cepat ingin bersapa dengan mereka.
Banyak pantai di sepanjang perjalanan yang kami lewati, namun kami memilih sebuah pantai yang terletak di ujung. Aroma khas laut dan deburan ombak menyambut kami, yang juga ingin cepat bersapa dengannya. Pantai ini, dinamakan Drini, ya, pantai yang kami kunjungi kali ini, bernama pantai Drini. Letaknya tak jauh dari pantai yang sudah tersohor, yaitu Indrayanti. Meski namanya tak setenar Indrayanti, namun keindahan alam Drini, benar-benar tak mau kalah dibandingkan pantai-pantai lain di Jogja. Sahutan ombak yang menghantam tebing, pasir putih yang elok, lambaian rumbai gazebo serta hembusan angin pantai yang beradu, membuat kami betah berlama-lama untuk menikmatinya sembari mengabadikan setiap moment yang membuat kami semakin merasa dekat dengan salah satu pantai selatan ini. Gulungan Ombaknya yang besar khas pantai selatan, membuat beberapa orang takut untuk menikmati lebih dekat untuk berenang. Namun, tak perlu khawatir, Pantai Drini ini memiliki sisi unik yang jelas tidak dimiliki oleh pantai lain di sepanjang pantai gunung kidul lainnya. Yah, Sebuah cekungan yang memiliki ombak yang tenang, cocok untuk dijadikan sarana berkenalan lebih dekat dengan air pantai Drini yang jernih. Di cekungan itulah, terlihat orang-orang semakin akrab dengan Drini yang masih asri.
Untuk menambah keakraban bersama Drini, kami bersama-sama menaiki tangga menuju salah satu tebing yang bersebrangan dengan cekungan. Lambaian daun pandan dan tanaman drini yang tertiup angin, menyapa kami dengan hangat. Memberikan pemandangan yang tak mengecewakan tamu yang datang padanya. Di sini lah, kami memandang hamparan birunya air pantai selatan dan hembusan angin yang kencang kala kita berada di ujung tebing, bagaikan dalam sebuah Film Titanic. Sungguh mahakarya Tuhan benar-benar membuat tak berhentinya mulut ini bersuara kagum. Tuhan memang Arsitek yang luar biasa dalam menciptakan setiap lekukan keidahan alam ini. Di tengah asyiknya bercengkrama, tiba-tiba seorang warga lokal mendatangi kami, dia adalah seorang pemilik dari gazebo yang disediakan diatas tebing. Dengan mebayar Rp. 1000,- saja, kami bisa duduk diatas gazebo sembari bercengkrama dengan Drini.
Melalui sebuah perbincangan dengannya, kami tahu bahwa Drini merupakan nama sebuah tanaman yang banyak tumbuh di sepanjang tebing pantai ini. Oleh karena itu, warga sekitar menamai sebagai pantai Drini, pantai yang masih sangat asri dari Jogjakarta.
Dibuat terlena oleh keindahan alam Drini yang masih asri, tak terasa perut kami mulai bergejolak, kami berjalan, sembari berpamitan dengan tebing Drini. Tak perlu jauh untuk mengisi perut, di sepanjang pantai, banyak sekali dijumpai. Olahan Khas laut yang menggoda selera membuat perut kami terasa puas untuk diisi menu siang itu.
Selain alamnya yang indah, kami menemukan beberapa nelayan sedang asyik merajut jaring yang akan mereka bawa untuk menangkap ikan. Bercengkrama sembari merajut jaring yang rusak, wajah mereka tampak sumringah, tiada rasa takut akan ombak pantai selatan yang begitu besar. Laut memang menjadi salah satu ladang untuk tumpuan hidup mereka. Disinilah, pantai Drini menyimpan keunikan lain. Selain alamnya yang memanjakan mata, di Pantai inilah dijumpai nelayan beserta kapal-kapalnya. Menurut Mas Bejo, salah satu warga yang kami temui di tebing tadi, hanya disini dijumpai kapal-kapal serta nelayan yang siap untuk menangkap ikan.
Meskipun belum banyak yang mendengar pantai ini, namun tetap Drini, si asri yang masih tersembunyi ini menyimpan berjuta keindahan yang patut untuk kita kunjungi. Inilah Jogja, dan inilah Indonesia, pesonanya tak kalah dengan negara belahan bumi manapun. Sekali lagi, Tuhan memang Maha Pencipta yang Agung. Selamat Berlibur dan menikmati keindahan alam Indonesia :)
(Foto By : Keke Meidyluana S)
Hilda Maisyarah
Selasa, 31 Desember 2013
Rabu, 23 Oktober 2013
Balada Si Mata-Mata
Balada Si Mata-Mata
#Part 1
Ombak di laut terus menerjang pasir
putih, menggeser bongkahan kecil karang yang terus mengikuti arus air. Lampu putih yang terlihat redup di sebuah
dermaga, suara kapal beradu bersama kerasnya suara ombak. Angin pun tak mau
kalah beradu, derunya kian kencang, menarik lembut kain yang terpajang di
pinggir gubuk biru. Bau khas laut menyeruak menuju hidung, dan bercampur dengan
harumnya asap pembakaran. Bintang juga ikut beradu menghiasi malam, menebarkan
jutaan kerlip bak permata. Semuanya beradu padu, menghiasi malam, begitu juga
dengan hatinya, dia pun ikut menikmati indahnya malam itu.
Sedikit, terlintas sebuah wajah yang
berada dihadapnya, wajah yang tak asing baginya untuk dapat ia nikmati bersama
indahnya suasana pantai kala itu. Awalnya dia hanya mencuri-curi ketika
memandang sosok itu, meski wajah itu tak asing baginya, namun entah mengapa ia
harus mencuri pandang. Senyumnya, meski
tak begitu indah, namun tutur katanya begitu sopan. Sikap santun yang ia kenal,
terus diperhatikan tak kala dia hanya mencuri pandang lagi.
Selalu mata bulat coklat itu mencuri
pandang sebuah wajah oval bermata sayu. Hanya berani mencuri pandang, dan
menahan sebuah rasa yang selalu ia kontrol agar tetap menjadi sebuah perasaan
seorang sahabat. Iya, seorang sahabat yang terus ia gunakan untuk tetap bisa
dekat dengannya dan menikmati wajah itu. Dulu, memang ada sebuah perasaan lebih
dari sekedar perasaan sahabat. Perasaan itu sempat beradu menjadi satu, hingga
menuju sebuah hubungan yang lebih pula dari seorang sahabat. Sejenak ia
tersadar, akan sebuah rasa yang ia sebut sebagai perasaan egois, hingga
akhirnya ia kehilangan perasaan lebih itu darinya.
Meski kejadian itu sudah
bertahun-tahun lamanya, meski ia pernah singgah di hati yang lainnya, namun ia
tetap menyimpan perasaan lebih itu untuk si mata sayu. Kini si mata sayu telah
bersama dengan seseorang di sana, perasaan si mata coklat terus ia kontrol agar
tetap menjadi sebuah perasaan yang tak boleh lebih dari perasaan persahabatan.
Mata sayu, si mata coklat akan terus mencuri pandang semua tentang dirimu, dan
si mata coklat akan terus mengontrol perasaannya.
Selasa, 03 September 2013
Movie Script
eks. jalanan
sekita pukul 7 pagi, seorang lelaki menggunakan sepatu tali warna biru berjalan menuju sebuah rumah. (shoot cuma pada sepatu)
in teras rumah
seorang gadis menggunakan flat shoes berwarna coklat
sedang duduk sembari menyilakan kakinya menunggu seseorang.
menggerak-gerakkan kakinya. saat menunggu tiba-tiba sepatu tali datang,
membuka pintu gerbang dan menghampiri gadis tersebut. kemudian mereka
langsung pergi dengan berjalan akrab.
eks. halte
sepatu tali menghantarkan flat shoes menuju halte,
dan disana kamera shoot bagian bawah bis yang datang. flat shoes
berjalan naik menuju bis. kemudian sepatu tali berhenti sebentar dan
melanjutkan perjalanan.
eks taman
seorang gadis menggunakan sepatu cats putih sedang
duduk di kursi taman,ia menggoyang-goyangkan kakinya. (shoot semua pada
sepatu). kemudian sepatu tali datang, mereka duduk bersama. mengobrol
asyik.
in. lorong kampus
flat shoes berjalan dengan gugup menuju sebuah lorong
yang ada sebuah papan pengumuman, dan disana banyak sekali kerumunan
yang berusaha melihat sebuah pengumuman. flat shoes berusaha menerobos,
dan dia berhenti sebentar. kemudian dia berlari bahagia menuju luar.
eks. lapak
flat shoes berjalan menuju sebuah lapak penjual
bunga. dia terlihat begitu bahagia (shoot kaki) dan kemudian berjalan
tak sabar menuju sebuah rumah.
EKS. EVERYWHARE
EKS TAMAN
sepatu cats dan sepatu tali masih mengobrol asyik.
eks. halaman rumah sepatu tali
flat shoes berada di depan gerbang rumah sepatu tali,
dia mencari-cari, namun rumah terlihat sepi, dan dia tampak
bingung(shoot kaki) kemudian dia berjalan.
EKS jalanan
memperlhatkan flat shoes berjalan tergesa-gesa menuju sebuah taman,
EKS TAMAN
kamera shoot pada sepatu cats yang sedag jinjit di depan sepatu tali, sepatu cats hendak mencium sepatu tali.
flat shoes berhenti di depan taman tempat sepatu cats
dan sepatu tali berada. dia berhenti sekitar 10 meter di depan mereka,
dan menjatuhkan sebuah bunga. flat shoes berhenti lama. sepatu tali
mengetahui keberadaan flat shoes dan berusaha pergi dari depan sepatu
cats. sementara sepatu cats turun dari jinjitnya.
EKS JALANAN
sepatu tali mengejar flat shoes, namun flat shoes
tak dapat dkejar lagi dan sepatu tali berhenti. sepatu cats datang, dan
kemudian mengajak sepatu tali pergi. kamera shoot dari belakang, sepatu
cats dan tali berjalan dekat.
Senin, 05 Agustus 2013
Cooking, Iam in Love!
Masak?
Emm, mungkin bagi sebagian orang masak itu adalah hal yang sangat membosankan
dan melelahkan, namun sebagian lagi bilang kalo masak itu menyenangkan.
Kebanyakan orang berpendapat bahwa masak –memasak itu adalah tugas bagi kaum
hawa yang hukumnya fardhu ain alias wajib, bagaimana nih pendapat kalian?
Hehe.. kaum wanita dari jaman dahulu kala sering diidentitaskan sebagai kaum 3M
, dimana mereka hanya diwajibkan untuk,
M yang pertama itu Macak, Manak, dan Masak. Tapi jaman sekarang udah
berubah ya, jadi kaum wanita gak cuman bisa 3M itu saja, tapi setara dengan
kaum adam. Kembali ke masak-memasak, walaupun jaman udah berubah nih, kita
sebagai kaum perempuan tidak boleh lupa diri akan kewajiban dan kehaurusan yang
satu ini nih. Yaitu masak, kenapa wajib? Bagi saya (penulis) kewajiban wanita
untuk bisa memasak sangatlah mutlak, karena kita kelak akan menjadi Ibu rumah
tangga, yang pekerjaannya merawat keluarga kita. Kalo kita gak bisa masak buat
keluarga, terutama buta suami, pasti bete kan kalo mesti beli makanan mulu. Gak
mau juga kan, suami sering keluar untuk mencari sensasi lain membeli makanan
daripada di rumah. Kalo jajannya makanan doang sih gapapa ya, tapi kalo
tiba-tiba ketemu yang lain kan repot juga. Hehee bukan nkaut-nakuti sih.
Kebanyakan jajan di luar juga dapat
mengakibatkan tumbuhnya berbagai penyakit. Kita gak tau apakah makanan yang
kita konsumsi di luar, dimasak secara higenis atau tidak. Kalo kita bisa masak
sendiri di rumah kan kebersihannya terjamin kan, dan dapat terhindar dari beberapa
penyakit yang disebabkan oleh makanan siap saji. Untuk itu, sebagai kaum wanita
kita harus bisa memasak, selain untuk berbagai alasan tadi, masak juga bisa
membuat mood kita menjadi seneng nih teman. Pengalamanku sih, kalo lagi bete
sukanya masak, pasti bete kita bakal ilang, apalagi kalo udah nyicipin makanan
yang kita buat sendiri, seneng banget, hehe.
Sayang banget kalo ada wanita yang
gak bisa masak, alesannya beragam, ada yang bilang takut rambut lepek, takut
panas, takut piso, keringetan dan bla bla bla bla... Di era modern sekarang
ini, jaman sudah canggih, peralatan masak juga udah canggih, kenapa mesti males
buat masak teman? Cooking is just not a
hoby, but its a must for women. Tuh, buat yang punya cita-cita pengen jadi
ibu yang baik buat keluarga, salah satunya kita harus bisa menyajikan hidangan
buat keluarga kita, gak perlu mewah, sederhana asal masakan sendiri pasti di
sukai. Yuk memasak J
Kamis, 02 Mei 2013
Rainy Summer
“
Rainy Summer”
Rintik hujan
yang jatuh perlahan membasahi jalan hitam yang mulai berlubang itu. Atap
seluruh bangunan yang kokoh berdiri pun tak luput dari sapuan beningnya. Tak
ada sinar terik yang selalu dikeluhkan setiap harinya, hanya payung yang
berjalan menyusuri pedestrian kota. Dinginnya kota selalu membuat orang-orang
di sekeliling menutup dirinya rekat-rekat di dalam rumah untuk mencari
kehangatan. Namun, berbeda denganku yang selalu ingin keluar kala hujan datang
mengguyur kota ini. Aku menyukai rintikannya,
rintikan hujan yang jatuh dari langit membuatku sangat terkagum
melihatnya, merasakannya yang menetes di tubuh mungilku dan meman pelangi
ketika hujan berhenti bermain denganku.
Bau rumah sakit
membuatku semakin bosan berbaring disini, sudah hampir seminggu lamanya aku
menjadi penghuni tempat ini. Aku rindu akan hujan di luar sana, merasakan
tetesan demi tetesan yang membasahi tubuhku, memandang bunga bakung yang
terhampar luas di taman belakang rumah, dan menyaksikan hewan lembab
bermunculan. “Hai Summer, kenapa murung sayang?” tanya seorang suster yang
datang tanpa memberi tanda kehadirannya. “Aku memandang hujan suster, aku ingin
main ke tempat itu” jariku menunjuk ke arah taman belakang rumah sakit “bosan
berada di sini” tandasku pada suster Ella yang sudah mulai akrab denganku. Aku
tahu, pasti suster Ella tak mengizinkanku bermain di sana, padahal aku sudah
sangat ingin bermain bersama rintikan hujan. Kali ini harus mengubur
keinginanku untuk bermain ke taman dan
bermain bersama rintik hujan.
Bandung, hari
ini diguyur hujan membut beberapa tempat mengalami kebanjiran, beberapa orang
ada yang menyalahkan hujan, mereka berpikir hujan adalah penyebab kesengsaraan
mereka, rumah mereka terendam air, banyak yang kecelakaan gara-gara mengebut
menghindari hujan dan banyak lagi alasan yang tak ku sukai lainnya. Bagiku,
hujan tidaklah sejahat itu, hujan turun sebagaimana mestinya ia datang,
memberikan tetesan kehidupan kepada makhluk bumi yang mulai haus akan air. Itu
salah mereka, mengapa mereka tak merawat apa yang telah Tuhan berikan, mereka
acuh terhadap apa yang ada di muka bumi ini. Lagi-lagi aku kesal dengan
pemberitaan media hari ini yang mengekspose hujan, seolah-olah dia benar-benar
jahat bagi para makhluk bumi. Mama melihat raut kesalku sambil terus melanjutka
mengoles selai di atas sisiran roti.
“Kapan musim
panas dateng ya dek? Cucian mama susah kering nih” mama mengeluh, lagi-lagi ada
yang menyalahkan hujan, “biarin aja hujan turun” , mama hanya mengerutkan
dahinya dan kemudian tak berkata-kata lagi. Bosan, setiap hari hanya berbaring
tanpa aktifitas yang berarti, aku rindu sekolah, aku rindu bermain bersama
sahabat-sahabatku, Dea dan Lila, dan aku rindu bermain di padang bunga bakung
bersama Harry. Sahabat kecilku itu membuatku semakin rindu dan semakin ingin
keluar dari tempat membosankan ini. “Ma, kapan aku bisa pulang Ma?” rengekku
sebagai jurus membujuk mama agar mengeluarkanku dari tempat ini. Sebenarnya aku
sudah terbiasa dengan Rumah Sakit, dari kecil aku sering menginap di tempat
ini, mendapat perawatan yang lama dan menghilangkan masa kanak-kanakku yang
indah. Mama adalah sosok orang yang sangat sabar menghadapiku, beliau
benar-benar wanita hebat yang hadir dalam hidupku, memberikan kesejukan bak air
hujan yang menetes kulitku. Aku tak ingin menyusahkannya seperti ini
terus-menerus, aku ingin menyusul ayah di sana, tempat yang abadi yang tak
merepotkan orang yang ku sayang.
Hari ini, aku
menikmati lagi masa yang sempat hilang beberapa hari kemarin, merasakan suasana
gaduh kelas, merasakan nikmatnya belajar bersama. Senyumku kembali mengembang
hari ini, aku kembali beraktifitas seperti yang lain. Tak pernah merasa sedih
setelah keluar dari rumah sakit akibat penyakit yang kini kujadikan sahabat.
Aku tak ingin diistimewakan oleh orang di sekitarku karena keadaanku seperti
ini. Bertingkah bak orang yang sehat tanpa masalah pada organ penting dalam
tubuhnya, bertindak bebas tanpa harus memikirkan penyakit yang ada menjadikan
tubuhnya sebagai rumah idamannya. Aku
iri dengan burung yang bisa terbang bebas menikmati butiran hujan langsung dari
udara, aku hanya bisa melihat butiran hujan seudah merasakan kepuasan dalam
diri.
Canda tawa kami
menggema di ruang kelas, menikmati guyonan yang dibuat oleh Lila dan Dea,
bersama mereka adalah kebahagian yang tak tergantikan oleh apapun. Dea beranjak
dari tempat duduknya dan melihat kea rah halaman sekolah, hujan sedang
mengguyur Bandung siang ini. “Aduuh, kenapa hujan dateng lagi sih!” kesalnya ,
“hujan itu indah, membawa sejuta kesejukan dalam tubuh ini, damai dan merdu
suaranya” protesku pada Dea. Lila
menatapku lekat-lekat, “gue heran deh, nama sama kesukaan lo tuh nggak sinkron
mer” “iya, Summer itu musim panas, dan seharusnya itu, nama lo diganti aja
Rainy gitu” tambahnya, kami bertiga terkekeh mendengar perkataan itu.
Mama memberiku
nama Summer karena dia ingin aku sebagai anak yang selalu cerah di sepanjang
usia. Menjadi cahaya yang tiada henti menyinari kehidupan, memberikan
kehangatan dan selalu bahagia selamanya. Seperti matahari yang selalu
memberikan sinar cerahnya untuk kehidupan Makhluk di bumi yang indah ini. Hujan
sedang berhenti siang ini, aku ingin melepas kerinduan di taman bunga bakung
yang mekar saat musim hujan dan memetik bunga bersama Harry.
Tebakanku benar
kali ini, Harry ternyata sedang berada di sana memandang bunga dari atas gubuk
tua yang berdiri di sudut kebun. Percobaanku untuk mengagetkan Harry ternyata
tidak berhasil, “yahh gagal” , “lo ngapain ke sini? Gak dilarang sama Mama
Nera?” Harry mencoba menggodaku. Aku berjalan kemudian duduk di sebelahnya,
“mama lagi pergi, jadi aku main ke sini aja, bosen di rumah” sambil terus
memainkan kaki yang menggantung tak dapat meraih tanah di bawahnya. Harry
menatap penuh perhatian pada kebun bunga, dan mataku terus mengekori
gerak-geriknya. Dia adalah sahabat yang perlahan tumbuh menjadi cinta pertama
dalam hidupku, diam-diam menyukainya tanpa ada yang tahu.
Mama memarahiku
hari ini, mendengar aduan bibi kalo tadi bermain ke kebun, kemarahan mama
memang sangat beralasan. Dia tak ingin sesuatu terjadi padaku, tak ingin
kehilangan putri semata wayangnya yang sangat ia cintai. Aku hanya tertunduk
lesu mendengarkan mama berbicara memarahiku, “mulai besok kamu home schooling aja” kata-kata mama benar-benar tak ku sangka.
Aku terkejut mendengarnya, mama benar-benar mengkhawatirkan keadaanku “Ma?, aku
ingin sekolah di sekolah formal” pintaku. Mama diam dan tak merespon
keinginanku, aku memahami maksud mama, namun aku tak ingin kesepian di rumah
tanpa ada canda teman-teman yang setiap hari menghiasi hariku.
Sudah 5 bulan
aku menjalani homeschooling, melihat
wajah mama yang setiap hari cerah memandangiku, sedikit mengurangi khawatir
yang selama ini selalu dipikirkannya. Sebentar lagi musim kemarau, yah.. aku
tak bisa melihat hujan beberapa bulan lamanya. Semoga aku masih bisa melihat
hujan, sebelum mata ini tak membuka lagi, dan sebelum nafasku berhenti
berhembus. Semakin hari semakin berkurang hujan yang turun, tak seperti
biasanya, ingin sekali aku menikmatinya lagi, sembari memandang bunga bakung
yang tumbuh luas di kebun. Sebentar lagi bunga-bunga yang tumbuh di taman itu
akan layu dan tak kan mekar lagi tanpa kehadiran hujan.
Suara bel rumah
berbunyi 3 kali, dalam hati aku menghitungnya sambil berbaring di kamar, pintu
kamar yang tertutup perlahan terbuka. Harry datang dengan seikat bunga bakung
merah yang ia petik di kebun, tempat kita. “Ini aku bawain bunga kesukaanmu”
katanya datar, aku terkejut melihatnya membawa bunga kesukaanku, “Harry,
makasi”, “aku bosan, bagaimana bunga-bunga di sana? Tumbuh subur kah?” cemasku
karena hujan sudah jarang datang. Harry menghela nafas panjang sebelum ia
beranjak dari tempat duduknya, “gak usah dipikirin, aku bakal jaga tanaman yang
kamu suka hingga tumbuh subur” katanya menenangkanku. Aku terdiam sejenak,
berpikir untuk kesekian kalinya aku ingin pergi ke sana melihat bunga sebelum
hujan berhenti, “ajak aku ke sana, tolong” ini kesekian kalinya aku memohon
pada Harry untuk mengantarkanku ke tempat itu, dia tercengang mendengar
permintaanku yang tak mudah untuk di jawab. Terlalu lama ia berdiam sebelum
akhirnya mengiyakan apa yang ku inginkan.
Harry
mengendarai sepeda dengan pelan, sementara aku berpegangan erat pada
pinggangnya. Udara sore itu dingin sekali, bau basah hujan masih tajam menusuk
hidungku yang peka. Menikmati hembusan angin di sepanjang perjalanan, melihat
dedaunan yang terlihat basah dan melihat burung kembali keluar dari sarangnya. Aku
memejamkan mata, menikmati segala yang telah Tuhan berikan, alam yang indah.
“kita sudah sampai” tengok Harry, aku bergegas turun dari sepeda dan berjalan
mengelilingi kebun. Warna merah menghiasi kebun , seolah menyambutku bak
seorang putrid yang berjalan menuju karpet merah. Ini seperti surga bagiku,
kedamaian dan keindahan yang ku pandang, aku tak merasa sebagai orang yang
menanti waktu untuk pergi dari indahnya dunia ini, dan meninggalkan hujan.
“Jika aku pergi,
jagalah bunga ini dengan baik ya,” , Harry mengerutkan dahinya, “aku tak ingin
menjadi Summer yang merusak kedamaiannya, aku ingin selalu menikmati
keindahannya bersama hujan.” Gerimis kembali datang, “ayo kita berteduh” Harry
menggenggam tanganku erat membawaku ke gubuk di tengah kebun untuk berteduh.
Air mata ini perlahan menetes, butirannya terus mengalir deras membasahi pipiku
yang terlalu kering. “Seharusnya, aku tak membawamu ke sini, hujan semakin
deras” Harry terus menyalahkan dirinya yang telah membawa Summer ke tempat itu.
“Wajahmu pucat sekali, kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kecemasan. Kini aku
bisa merasakan hujan menetes dan membasahi tubuhku, setelah sekian lama tak ku
rasakan. Tubuh ini semakin lemas, terhanyut oleh hujan yang membasahiku,
dinginnya terlalu dalam menusuk tulang, hingga ku tak sanggup untuk bernapas.
Hujan tak
berhenti dari tadi, sejak aku berada di kebun hingga aku telah berbaring di
atas kasur kamar yang telalu hangat. Mama yang membawaku kemari, selang oksigen
kembali menutupi hidungku, membantuku bernapas dengan baik. Perjuanganku
semakin rapuh untuk bertahan, dia yang telah berdiam di dalam tubuhku
bertahun-tahun yang lalu, semakin kuat membawaku ikut bersama hujan. Mama
menangis di sudut kamar, namun ia menyembunyikannya dariku, sedangkan Harry,
terlihat begitu bersalah, ia terus menatapku. Seikat bunga bakung yang
dibawanya, kini telah mengihiasi kamarku, air yang menggenangi tangkainya
membantunya untuk kuat dan tetap indah, meski tak bertahan lama ia menampakkan
keindahannya.
Mataku berpaling
kearah mama berdiri, Mama tak terlalu pintar menyembunyikan kesedihannya, “Ma,
aku yang mengajak ke sana, aku ingin melihat bunga mekar di kebun, jangan
salahkan Harry ya Ma” Mama mengangguk dengan air mata yang semakin deras
mengalir di pipinya, sementara Harry hanya terdiam. Aku tahu apa yang ia
rasakan, bersalah itulah rasa yang kini berada dalam dirinya, “Aku bakal terus
mekar kok, mekar dalam hati kalian, bersinar bagaikan matahari yang tak pernah
berhenti untuk menyinari bumi” senyumku mengembang, agar mereka tak terlalu
larut dengan apa yang di rasakan. Bak ranting yang terhempas angin kencang, dia
patah dan terjatuh dari batang yang menyangganya. Kini, aku telah rapuh,
pertahananku kalah oleh dia yang telah lama berdiam dalam tubuhku,
menjatuhkanku bagaikan ranting tadi dan perlahan dia menutup mataku, membawaku
dalam kesuah kedamaian abadi.
Kini, hujan
mengiringi kepergianku, menjemputku untuk ikut bersamanya. Apa yang aku sukai
yaitu Hujan telah mengantarkanku ke tempat yang abadi. Disana, aku bisa bermain
dengan hujan sesuka hatiku, tanpa harus tunduk pada sebuah penyakit yang sempat
menghentikanku untuk menikmati hujan. Musim hujan telah terganti oleh musim
panas, kini apa yang orang harapkan telah datang. Bias cahaya membentuk
setengah lingkaran berwarna yang mengiasi langit sore itu. Aku pergi dengan
hujan, panas dan pelangi menyambut kepergianku dengan, dan mengucapkan selamat
tinggal. Mama, Harry , Lia , Dea dan mereka yang ku cintai lainnya, melepasku
dengan tangis yang berujung pada sebuah pengikhlasan.
“Hujan bukanlah
sebuah kesalahan, dia datang membawa air kedamaian, menghidupkan bunga-bunga
yang mekar. Dia datang membawa kehidupan yang damai, meski banyak orang yang
tak menyadari perannya dan selalu menyalahkan. Hujan dan Matahari sama-sama
sumber penting dalam kehidupan di bumi. Namun, cintaku pada hujan lebih dalam,
dia yang menumbuhkan bunga bakung itu, bunga indah yang banyak tumbuh kala
hujan datang. Summer juga suka pada matahari, ketika hujan pergi dan ketika
matahari muncul, darisitulah pelangi tersenyum. Aku Summer dan aku menyukai
hujan, matahari, pelangi, dan bunga bakung, dan tentu aku mencintai Mama.
Terima kasih mama, Summer. “
Minggu, 11 November 2012
Arah
Hiruk pikuk dan gemerlap lampu
kota bersinar indah, bak bintang yang berkelip riang di langit. Sinar lampu
pengganti cahaya bintang yang hilang ditelan oleh pekatnya awan mendung, yang
hadir di kota Bandung malam ini. Bau basah hujan sangatlah menyengat, rintikan
halus perlahan berubah menjadi pancuran air yang begitu derasnya turun. Gadis
itu masih duduk dengan tatapannya yang kosong, sesekali ia mengadahkan
tangannya ke atas, menikmati sentuhan air yang jatuh dari langit. Sudah hampir
1 jam lebih ia duduk di situ, sudah banyak bus yang datang, namun ia tetap tak
menghiraukannya. Bajunya bergelora tertiup angin, kain chiffon yang halus berbentuk
gaun cantik nan pas ia kenakan.
Waktu terus berkutat dengan
detikannya yang semakin terasa cepat, malam pun semakin lama semakin bingar.
Udaranya begitu keras menusuk ruas-ruas tulangnya, hujan yang gencar
berdendang, kini perlahan mulai hilang dari pekatnya malam. Raut wajahnya
tampak sudah lelah duduk di halte yang sepi, hingga ia akhirnya beranjak dan
pergi meninggalkan tempat itu setelah sebelumnya ia memutuskan dengan helaan
nafas yang panjang. Kaki mungilnya terus menyusuri jalan, pandangannya masih
terlihat kosong. Bau sisa-sisa hujan yang masih harum tak ia hiraukan, ia terus
berjalan, berjalan , dan berjalan tanpa arah, hatinya lah yang menuntun entah
kemana tempat yang akan ia tuju.
Dedaunan dan aspal masih terlihat
basah terguyur hujan tadi, pohon tinggi yang berdiri kokoh disepanjang jalan,
menhembuskan dedaunan yang gugur oleh tiupan angin yang menerpa kencang. Rena,
gadis berambut panjang yang tergerai dengan balutan gaun putihnya yang terus
bergelora tertiup hembusan angin itu, tak berhrnti untuk melangkahkan kaki
mungilnya. Kini, angin dan udara seperti sebuah kesatuan senjata yang bersatu,
hingga Rena mendekapkan tangannya, udara dingin kali ini benar-benar menggores
tulangnya. Udara benar-benar menggodanya untuk berhenti melangkah, namun ia tak
menghiraukan dan terus melangkah.
Bayang-bayang kejadian siang tadi
masih menggema di benaknya, pikirannya terus mengisi setiap memori otaknya,
hingga penuh dan lumer oleh kejadian tadi. Siang itu, yah, siang itu begitu cerah,
matahari tak sesangar seperti hari-hari biasa yang cukup membakar kulit. Angin
pun bergerak lembut menyentuh permukaan kulit, masuk perlahan ke dalam
pori-pori dan menyejukkan seluruh tubuh. Senyum binar mengembang di balik bibir
indahnya yang terpulas dengan pulasan lipstick warna punch, gaun putih terbaiknya sengaja ia kenakan untuk hari spesialnya
bersama dia yang ia cinta. Di depan meja rias, ia terus macak dirinya, hingga
terlihat sempurna, sempurna di depan orang yang sangat Ia kasihi sejak 3 tahun
lamanya.
Suara klakson taksi yang ia pesan
5 menit yang lalu kini datang, wajahnya semakin sumringah dan senyum yang
berbinar mekar, langkahnya penuh dengan semangat matanya seakan berbicara bahwa
dia sudah tak sabar bertemu Dito, kekasihnya. Tak lupa bungkusan kotak yang ia
bawa berbalut kertas kado warna merah marun ia tenteng masuk. Di depan pagar,
ia mengadah ke atas , melihat kamar berkelambu biru yang bergerak tertiup
angin. Dengan segan ia memencet bell, disela-sela waktu sembari menunggu
seseorang membukakan pintu, rambut Rena yang sedikit berantakan ia rapikan
dengan jari-jari mungilnya. “Happy anniversary Sayang!!” Rena berseru bahagia,
hingga Dito, lelaki yang membukakan pintu itu tercengang kaget dengan kehadiran
kekasihnya itu. Dito terlihat begitu kikuk, ia tak menduga Rena akan datang
menemuinya, “kok gak bileng-bilang sih kalo mau kesini” smbil menggaruk-garuk
kepala. Rena menjawab dengan enteng dengan senyum masih masih bertebaran di
bibirnya, “kan mau kasih surprise” , “yaudah,aku ke kamar mandi dulu ya”.
Ruangan kamar Dito terlihat luas, di sudut kanan terdapat sebuah almari yang
tinggi , serta di sebelahnya ada sebuah lukisan elang yang sedang terbang bebas
dia atas tebing yang tinggi. Terdengar suara handphone berbunyi, nada suaranya
sama dengan nada milik Rena, ia membuka tas dan mencari-cari hpnya, namun hp Blackberry Rena mati. Matanya mengekori
seisi ruangan, hingga ia menemukan hp Dito , dengan ragu ia membuka pesan itu happy anniversary 1st Baby.
Kaki mungilnya terasa semakin lemas, perlahan semakin lemas, hingga ia tak
mampu berdiri dan perlahan jatuh dalam posisi duduknya.
Dito datang dengan handuk yang ia
gosok-gosokkan di permukaan rambutnya, di terheran melihat sikap Rena yang
berubah 360 derajat darp pertama ia datang. Kemudian ia berjalan ke arah Hp
yang tergeletak di meja kayu yang berada persis di depan tempat Rena. Kini,
nada tinggi telah beradu, suara lantang dari keduanya menggema di seluruh
ruangan. Peperangan dimulai, Dito tetap menyanggah hal yang diketahui Rena
barusan. Butiran air mata perlahan turun dan membasahi bidang pipi Rena,
sesekali ia usap dengan tangannya sendiri.
Pernyataan demi pernyataan telah
terlontar lantang, membuat batin Rena semakin tersayat, semakin tersayat hingga
menumbuhkan luka yang menganga, karena Laki-laki yang ia cintai tak kunjung
berkata sebagaimana mestinya. Isakan tangisnya membawanya keluar ruangan itu, langkah
kaki yang terhanyut oleh suasana hatinya, membawa raganya keluar.
Malam semakin larut, udara semakin
garang menumbuhkan dingin hingga benar-benar menusuk tulangnya. Tangan
mungilnya tetap mendekap erat, semakin erat, menghindarkan tubuhnya tergores
oleh dinginnya malam. Pandangannya masih kosong, dan hanya satu dalam
pikirannya, orang yang ia cintai mengejarnya dan mau untuk mengutarakan
kejujuran, bukan kebohongan yang ia inginkan.
Berjalan terus dan terus tanpa
henti, rambutnya dibiarkan tertiup angin, dan ia tak menghiraukan lagi ,
mahkotanya tak beraturan. Tak ada lagi senyum sumringah seperti siang tadi, hanya
goresan raut penuh luka yang menghiasi wajahnya. “Rena!!!!” seruan suara yang sangat ia kenal,
dan sangat ia inginkan saat ini, memanggilnya. Wajah yang tertunduk, kini
perlahan terangkat, senyum bahagia kini perlahan tertoreh di bibirnya hingga
akhirnya ia membalikkan pandangannya. Dilihatnya, sosok itu berdiri dengan
tatapan penuh pengharapan,ia kembali. Senyumnya di balut oleh tangis bahagia,
langkahnya maju bersemangat namun tetap pelan, tatapannya hanya tertuju pada
satu arah. Arah dimana seorang yang ia inginkan saat ini berdiri, tak ada arah
lain yang ada dipikrannya, hanya ada arah itu. Satu arah yang ia tuju, hingga
Ia tak tahu , sebuah mobil berjalan dengan kencang dari arah kirinya, dan tetap
saja gadis itu tak tahu, dan tak menghiraukannya. Hingga akhirnya dia yang
melaju kencang kini membuatnya terpental dan membuatnya tak berdaya.
Arah yang ia tuju, hanyalah
sebuah jalan yang lurus tak terhenti, gelap hanya ada sedikit cahaya yang
bersinar. Arah sosok itu hanyalah ilusi yang ia pikirkan sepanjang ia
melangkah, tak ada sosok yang ia inginkan memanggilnya, dan mngejarnya. Semua
hanyalah sebuah ilusi yang berujung pahit yang kini Rena rasakan, pahit dan
amat pahit dalam dunia nyata. Namun, manis dalam alam yang kini ia tempati,
manis, indah dan damai yang ia rasakan.
Dito benar-benar tak mengejarnya,
ia terus menghisap puntung rokok, menghisap hingga mengepulkan asap putih.
Tatapannya tertuju pada jendela yang mengarahkannya untuk melihat ke luar, ia
beranjak ketika seorang gadis menelphonnya, “sayang, aku tunggu di depan ya “,
suara manja itu membangkitkan laki-laki itu dan pergi menemuinya.
Langkah kakinya telah terhenti, kini
ia tak lagi melangkah dalam lubang pahit, tak ada lagi sakit dan sesak yang ia
rasakan. Tak ada lagi dingin yang menusuk ruas tulangnya, dan daun tetap
berguguran namun, raga itu tetap tak beranjak.
Langganan:
Postingan (Atom)