Hiruk pikuk dan gemerlap lampu
kota bersinar indah, bak bintang yang berkelip riang di langit. Sinar lampu
pengganti cahaya bintang yang hilang ditelan oleh pekatnya awan mendung, yang
hadir di kota Bandung malam ini. Bau basah hujan sangatlah menyengat, rintikan
halus perlahan berubah menjadi pancuran air yang begitu derasnya turun. Gadis
itu masih duduk dengan tatapannya yang kosong, sesekali ia mengadahkan
tangannya ke atas, menikmati sentuhan air yang jatuh dari langit. Sudah hampir
1 jam lebih ia duduk di situ, sudah banyak bus yang datang, namun ia tetap tak
menghiraukannya. Bajunya bergelora tertiup angin, kain chiffon yang halus berbentuk
gaun cantik nan pas ia kenakan.
Waktu terus berkutat dengan
detikannya yang semakin terasa cepat, malam pun semakin lama semakin bingar.
Udaranya begitu keras menusuk ruas-ruas tulangnya, hujan yang gencar
berdendang, kini perlahan mulai hilang dari pekatnya malam. Raut wajahnya
tampak sudah lelah duduk di halte yang sepi, hingga ia akhirnya beranjak dan
pergi meninggalkan tempat itu setelah sebelumnya ia memutuskan dengan helaan
nafas yang panjang. Kaki mungilnya terus menyusuri jalan, pandangannya masih
terlihat kosong. Bau sisa-sisa hujan yang masih harum tak ia hiraukan, ia terus
berjalan, berjalan , dan berjalan tanpa arah, hatinya lah yang menuntun entah
kemana tempat yang akan ia tuju.
Dedaunan dan aspal masih terlihat
basah terguyur hujan tadi, pohon tinggi yang berdiri kokoh disepanjang jalan,
menhembuskan dedaunan yang gugur oleh tiupan angin yang menerpa kencang. Rena,
gadis berambut panjang yang tergerai dengan balutan gaun putihnya yang terus
bergelora tertiup hembusan angin itu, tak berhrnti untuk melangkahkan kaki
mungilnya. Kini, angin dan udara seperti sebuah kesatuan senjata yang bersatu,
hingga Rena mendekapkan tangannya, udara dingin kali ini benar-benar menggores
tulangnya. Udara benar-benar menggodanya untuk berhenti melangkah, namun ia tak
menghiraukan dan terus melangkah.
Bayang-bayang kejadian siang tadi
masih menggema di benaknya, pikirannya terus mengisi setiap memori otaknya,
hingga penuh dan lumer oleh kejadian tadi. Siang itu, yah, siang itu begitu cerah,
matahari tak sesangar seperti hari-hari biasa yang cukup membakar kulit. Angin
pun bergerak lembut menyentuh permukaan kulit, masuk perlahan ke dalam
pori-pori dan menyejukkan seluruh tubuh. Senyum binar mengembang di balik bibir
indahnya yang terpulas dengan pulasan lipstick warna punch, gaun putih terbaiknya sengaja ia kenakan untuk hari spesialnya
bersama dia yang ia cinta. Di depan meja rias, ia terus macak dirinya, hingga
terlihat sempurna, sempurna di depan orang yang sangat Ia kasihi sejak 3 tahun
lamanya.
Suara klakson taksi yang ia pesan
5 menit yang lalu kini datang, wajahnya semakin sumringah dan senyum yang
berbinar mekar, langkahnya penuh dengan semangat matanya seakan berbicara bahwa
dia sudah tak sabar bertemu Dito, kekasihnya. Tak lupa bungkusan kotak yang ia
bawa berbalut kertas kado warna merah marun ia tenteng masuk. Di depan pagar,
ia mengadah ke atas , melihat kamar berkelambu biru yang bergerak tertiup
angin. Dengan segan ia memencet bell, disela-sela waktu sembari menunggu
seseorang membukakan pintu, rambut Rena yang sedikit berantakan ia rapikan
dengan jari-jari mungilnya. “Happy anniversary Sayang!!” Rena berseru bahagia,
hingga Dito, lelaki yang membukakan pintu itu tercengang kaget dengan kehadiran
kekasihnya itu. Dito terlihat begitu kikuk, ia tak menduga Rena akan datang
menemuinya, “kok gak bileng-bilang sih kalo mau kesini” smbil menggaruk-garuk
kepala. Rena menjawab dengan enteng dengan senyum masih masih bertebaran di
bibirnya, “kan mau kasih surprise” , “yaudah,aku ke kamar mandi dulu ya”.
Ruangan kamar Dito terlihat luas, di sudut kanan terdapat sebuah almari yang
tinggi , serta di sebelahnya ada sebuah lukisan elang yang sedang terbang bebas
dia atas tebing yang tinggi. Terdengar suara handphone berbunyi, nada suaranya
sama dengan nada milik Rena, ia membuka tas dan mencari-cari hpnya, namun hp Blackberry Rena mati. Matanya mengekori
seisi ruangan, hingga ia menemukan hp Dito , dengan ragu ia membuka pesan itu happy anniversary 1st Baby.
Kaki mungilnya terasa semakin lemas, perlahan semakin lemas, hingga ia tak
mampu berdiri dan perlahan jatuh dalam posisi duduknya.
Dito datang dengan handuk yang ia
gosok-gosokkan di permukaan rambutnya, di terheran melihat sikap Rena yang
berubah 360 derajat darp pertama ia datang. Kemudian ia berjalan ke arah Hp
yang tergeletak di meja kayu yang berada persis di depan tempat Rena. Kini,
nada tinggi telah beradu, suara lantang dari keduanya menggema di seluruh
ruangan. Peperangan dimulai, Dito tetap menyanggah hal yang diketahui Rena
barusan. Butiran air mata perlahan turun dan membasahi bidang pipi Rena,
sesekali ia usap dengan tangannya sendiri.
Pernyataan demi pernyataan telah
terlontar lantang, membuat batin Rena semakin tersayat, semakin tersayat hingga
menumbuhkan luka yang menganga, karena Laki-laki yang ia cintai tak kunjung
berkata sebagaimana mestinya. Isakan tangisnya membawanya keluar ruangan itu, langkah
kaki yang terhanyut oleh suasana hatinya, membawa raganya keluar.
Malam semakin larut, udara semakin
garang menumbuhkan dingin hingga benar-benar menusuk tulangnya. Tangan
mungilnya tetap mendekap erat, semakin erat, menghindarkan tubuhnya tergores
oleh dinginnya malam. Pandangannya masih kosong, dan hanya satu dalam
pikirannya, orang yang ia cintai mengejarnya dan mau untuk mengutarakan
kejujuran, bukan kebohongan yang ia inginkan.
Berjalan terus dan terus tanpa
henti, rambutnya dibiarkan tertiup angin, dan ia tak menghiraukan lagi ,
mahkotanya tak beraturan. Tak ada lagi senyum sumringah seperti siang tadi, hanya
goresan raut penuh luka yang menghiasi wajahnya. “Rena!!!!” seruan suara yang sangat ia kenal,
dan sangat ia inginkan saat ini, memanggilnya. Wajah yang tertunduk, kini
perlahan terangkat, senyum bahagia kini perlahan tertoreh di bibirnya hingga
akhirnya ia membalikkan pandangannya. Dilihatnya, sosok itu berdiri dengan
tatapan penuh pengharapan,ia kembali. Senyumnya di balut oleh tangis bahagia,
langkahnya maju bersemangat namun tetap pelan, tatapannya hanya tertuju pada
satu arah. Arah dimana seorang yang ia inginkan saat ini berdiri, tak ada arah
lain yang ada dipikrannya, hanya ada arah itu. Satu arah yang ia tuju, hingga
Ia tak tahu , sebuah mobil berjalan dengan kencang dari arah kirinya, dan tetap
saja gadis itu tak tahu, dan tak menghiraukannya. Hingga akhirnya dia yang
melaju kencang kini membuatnya terpental dan membuatnya tak berdaya.
Arah yang ia tuju, hanyalah
sebuah jalan yang lurus tak terhenti, gelap hanya ada sedikit cahaya yang
bersinar. Arah sosok itu hanyalah ilusi yang ia pikirkan sepanjang ia
melangkah, tak ada sosok yang ia inginkan memanggilnya, dan mngejarnya. Semua
hanyalah sebuah ilusi yang berujung pahit yang kini Rena rasakan, pahit dan
amat pahit dalam dunia nyata. Namun, manis dalam alam yang kini ia tempati,
manis, indah dan damai yang ia rasakan.
Dito benar-benar tak mengejarnya,
ia terus menghisap puntung rokok, menghisap hingga mengepulkan asap putih.
Tatapannya tertuju pada jendela yang mengarahkannya untuk melihat ke luar, ia
beranjak ketika seorang gadis menelphonnya, “sayang, aku tunggu di depan ya “,
suara manja itu membangkitkan laki-laki itu dan pergi menemuinya.
Langkah kakinya telah terhenti, kini
ia tak lagi melangkah dalam lubang pahit, tak ada lagi sakit dan sesak yang ia
rasakan. Tak ada lagi dingin yang menusuk ruas tulangnya, dan daun tetap
berguguran namun, raga itu tetap tak beranjak.