Rabu, 24 Oktober 2012

"Mimpi itu...."

Ini bulan Januari, sebentar lagi dia akan menuju Februari, dan seterusnya akan maju hingga berganti detik, menit, jam,hari, bulan hingga tahun. Jika dibayangkan mungkin mereka akan bergerak sangat lama, namun, bila dirasakan akan sangat singkat menemui pergantian itu. Menempuh perjalanan ini memang begitu terasa berat, kaki, seakan tak ingin menopang, dan sinar terik siang ini semakin menambah beban yang terasa. Secuil kisah dari hidup bermimpi, semakin hari semakin ingin menggapainya, mewujudkannya, dengan waktu yang sangat singkat. Mustahil memang jika mendapatkan apa yang kita inginkan dengan waktu singkat dan tanpa usaha yang berarti.
Perkenalkan, namaku  Ratri, seorang gadis yang hidup di sebuah pedesaan terpencil yang terus terkucil oleh adanya hukum kasta dan adat yang semakin hari semakin membelenggu. Hidup di lingkungan yang ketat dan keras membuatku semakin ingin memberontak. Yah, setiap hari aku ingin meluruskan pendangan mereka tentang seorang gadis yang berkasta rendah dan tak perlu mengenyam pendidikan. Berbeda dengan mereka yang berkasta atas, sesukan hati dan mudah untuk keluar masuk mengenyam pendidikan, dan sukses di kota. Sedangkan aku? Bermimpi saja aku sudah dilarang, dimatikan sebelum aku bisa meraihnya. Amarah dan dendam selalu aku pendam hingga aku tak mampu lagi menahannya.
Pagi itu, adalah hari penyambutan anak Kepala Desa yang kembali ke desa setelah menempuh pendidikan di Kota. Upacara penyambutannya begitu dilebih-lebihkan, meriah namun itu bagi para manusia berdarah biru, hal tersebut sangat diwajibkan, sedangkan kita? Orang-orang jelata hanya menatap mereka bahagia tanpa bisa merasakan. Jangankan merasakan, membayangkannya pun tak boleh, aku memang anak adat, namun aku tahu ini bagian dari adat yang membelenggu. Aku menghormati adat, namun bukan seperti ini. Ibu kartini telah memperjuangkan kesetaraan perempuan, namun tetap saja hal itu hanyalah sebuah hal yang mustahil dilakukan disini.
Aku mengendap-endap di tengah malam, hanya ingin keluar sejenak untuk bermimpi, bukan hanya bermimpi, merangkainya dan menyusun strategi untuk mewujudkannya. Tanah lapang yang luas di pedesaan ini adalah saksi kunci dimana aku bisa terus bermimpi. Tanpa harus ada yang melarang, dan mematikan semua mimpi yang telah ku rangkai hanya karena adat dan kasta.
Berteman dengan anak berdarah biru memang sangat tabu disini, namun aku, aku adalah seorang anak yang tak ingin menuruti adat begitu saja. Diam-diam aku berteman dengan seorang anak kepala dusun, tak ada yang mengetahui pertemanan kami. Dia yang mengajariku menulis dan membaca, kebanyakan warga desa ini tak bisa melakukan 2 hal itu, hal yang paling kami kuasai adalah berburu dan mengolah makanan. Hal yang sangat membosankan bagiku, setiap malam, ketika kedua orang tuaku terlelap, dan ketika dusun berubah menjadi sepi dan hanya suara hewan malam yang menghiasi, kami bertemu, belajar bersama. Sahabatku Restu, adalah anak yang pandai, sebentar lagi dia akan dikirim ke kota untuk melanjutkan sekolah, setara dengan SMP. Namun aku, SD saja aku tak mengenyamnya, amarah ini semakin tak tertahankan lagi ketika mendengar mereka yang bisa mengenyam pendidikan.
Keinginan untuk bersekolah telah meluap dalam diri ini, aku ingin bersekolah mewujudkan cita-cita dan impianku sebagai seorang guru, yah seorang guru. Agar aku bisa mendidik mereka anak yang berkasta rendah dengan kehidupan yang cukup memprihatinkan. Mereka beranggapan bahwa hidup kita datang dari alam, alam sudah menyediakan apa yang kita butuhkan tanpa harus bersekolah di tengah ekonomi yang jauh dari layak. Mencerdaskan mereka yang ada disini, tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun untuk pendidikan.
Setiap hari aku semakin geram dengan peraturan-peraturan ini, hingga hari ini aku berani untuk mengutarakannya pada mereka, kedua orang tuaku. Tak ada suara lain selain suara jangkrik yang ditemani oleh remang-remangnya obor, sebagai penerangan. Aku duduk di hadapan mereka, “emak, pak, aku ingin sekolah” kataku penuh keberanian, mereka berdua hanya tersenyum kecut melihatku. Aku sudah tahu jawaban mereka, pasti mereka tak mengizinkanku sama sekali. Dan angin semakin berhembus kencang, masuk dalam sela-sela anyaman bamboo yang menjadi tembok di rumah kami. Aku tak putus asa, “buat apa kita hidup kalo kita bodoh? tak bisa membaca, menulis dan lebih bodoh ketika kita melihat mereka semakin pintar?” , amarahku meluap semakin meluap. Tangan bapak terlihat mengenggam erat, seakan ingin mendaratkan padaku, “buat apa sekolah? Kalo kita hidup sudah disediakan alam? buat apa sekolah kalo pintar hanya akan menjadi hama perusak hutan kita?! He? “ tandasnya lantang. Emak hanya terdiam tak berkutik di kursi sebelah ayah berdiri, “Kartini telah memperjuangkan hak kami, hak para perempuan untuk bisa sekolah, termasuk kami, para warga miskin, kenapa adat aku dilarang? “ air mata amarah semakin jatuh deras di pipiku, “Kenapa  kami dilarang untuk bersekolah? Kalau alasannya adalah uang, kenapa kami tetap tak diperbolehkan sekolah?”. Ayah semakin terpojokkan dan pergi dengan amarah yang meluap.
Aku tertuntunduk lesu, namun amarah tetap memuncak dalam diri ini, emak menghampiriku dengan jalan yang tersingsal oleh balutan kain jarik di tubuhnya. Tangannya membelaiku dengan halus, “apa alasanmu bersekolah?” aku menerangkan sedetail mungkin padanya tanpa sedikit alasanku tertinggal. Emak beranjak menghampiri jendela yang terbuka, “sudah dari dulu, para perempuan seperti kita ingin sekolah, namun tak ada yang sampai memberontak seperti ini” beliau menghela napas panjang, “keinginanmu benar bulat?” katanya, pertanyaan itu membuatku semakin yakin, “iya, aku bulat mak”.
Dari bilik bambu kamarku, terdengar suara seorang mengetuknya pelan dengan sebatang kayu. “Aku Restu” bisiknya, aku keluar ke tempat rahasia kita berdua, sambil melihat bintang kami duduk bersebelahan. Tangannya menepuk pundakku, “besok aku akan ke kota, bagaimana? Kau mau ikut?” , raut muka ini terpasang lesu dan aku tak tahu harus menjawab apa ,”Bapak tak mengizinkanku pergi,” , “hey, kau benar-benar keinginanmu itu bulat apa tidak? Kalau kau iya akan ikut, besok jam 9 aku tunggu di sawah pinggir desa. Tanpa ada kata-kata yang keluar, Restu meninggalkanku sendiri, “hey” aku mencoba memanggilnya, namun dia sama sekali tak menoleh.
Rasa bimbang terus menyelimutiku, malam ini benar aku tak dapat tidur, terus terngiang perkataan Restu tadi. Aaaahhhh, aku menghela napas panjang, diri ini terus bertanya-tanya, apa yang seharusnya aku lakukan, apa aku akan kabur? Atau……….
Suara kokok ayam terdengar lantang, suara sapuan lidi yang menggaruk tanah, berseru dan semakin menderu. Ini sekitar jam 6 pagi, dan aku masih bingung , ini adalaha kesempatan emasku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, namun, di sisi lain, aku bingung tak mendapatkan restu dari orang tua. Tangan emak trampil memasukkan batang demi batang kayu ke dalam tungku batu, aku melihatnya dengan tatapan tak pasti. “kenapa?” tanya emak heran, “mak, aku diajak Restu ke kota hari ini, dia akan mengajakku untuk sekolah” jelasku padanya. Emak tercengang kaget mendengarnya, “apa?? Kalo bapakmu dengar bisa habis kau ini nak,” beliau mendekatiku ,”sejak kapan kau berteman dengan anak darah biru? He?” , aku semakin tertunduk “sejak dulu, sudah lama kami berteman, maaf mak”aku semakin takut. Emak meletakkan kayu yang dibawanya dan kemudian pergi ke kamar.
Hari ini bapak sedang ke hutan, jagung yang ditanam di sana sudah saatnya untuk di panen. Hanya aku dan Emak yang ada di rumah, waktu semakin berjalan, sudah hampir jam 9 emak tak keluar dari kamar. Aku masih duduk di pawon, sebuah dapur yang begini adanya,tak banyak alat makan, hanya kayu yang berbaris di sana. Jam sudah pukul 9, dan aku sudah putus asa, ku lihat kea rah luar, maaf Restu, sepertinya memang aku tak diizinkan untuk bersekolah, aku terus menggumam dalam hati.
Bungkusan baju yang dibungkus dengan kain di sodorkan ke arah wajahku, “pergilah” kata emak, “mak..?” aku terkejut , “pergilah, biar emak yang bilang ke bapakmu. Jadilah anak pintar, jangan dibodohkan oleh ilmu yang kau dapat, ingat itu ya?”Emak berpesan, kucium tangannya dan berpelukan dengan emak yang amat ku cinta, air mata ini deras mengalir dan aku berlari keluar menuju tempat yang telah di tentukan oleh Restu. Tangan emak melambai, rasa haru mengumbar dari dalam diri ini, aku terus berlari dengan meneteskan air mata bahagia. Impian, sebentar lagi aku akan mendapatkanmu. Restu menunggu dengan wajah yang bahagia, dia menghampiriku dan membawakan pakaian yang ku bawa. Dia benar-benar bahagia aku datang untuk ikut dengannya ke kota, menimba ilmu.
Mustahil kau bermimpi, jika tak ada usaha untuk mewujudkannya, adat, adalah kerikil yang menghalangiku. Itu hanyalah awal masalah, masih ada masalah-masalah yang datang dalam usahaku mewujudkan impian.
Tak terasa aku sudah 10 tahun meninggalkan desa, dan hari ini aku bersama Restu kembali ke desa dimana kami tinggal. Restu akan tetap di kota, dia akan bekerja sebagai wartawan, dan aku kembali ke desa, mewujudkan impianku, membangun sekolah untuk anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan, dan menjadi seorang guru.
            Rumah itu masih sama seperti dulu, bilik bambu semakin tua dan angin telah merubuhkan sebagian. Aku memasuki rumah itu dengan rasa gembira, ku lihat bapak duduk di ruang tamu sambil menghisap puntun rokok. Beliau tersenyum gembira melihatku, dan aku langsung menghampirinya dan mencium kaki emak dan bapak.
            Berkat usulan Restu , sebuah bangunan yang terbuat dari kayu berdiri, yah, sekolah telah didirikan. Aku diminta untuk mengajarkan membaca dan menulis kepada anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan. Rasa ini sungguh berbunga-bunga, mencerdaskan mereka adalah impianku. Tak pandang kasta, tak pandang ekonomi, semua bisa dan layak mendapatkan pendidikan.
Mimpi itu mistery ketika kita hanya membayangkannya, mimpi itu sederhana ketika kita hanya bermimpi. Dan mimpi itu luar biasa ketika kita berhasil mewujudkannya dengan usaha yang luar biasa. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar