Rabu, 24 Oktober 2012

"Mimpi itu...."

Ini bulan Januari, sebentar lagi dia akan menuju Februari, dan seterusnya akan maju hingga berganti detik, menit, jam,hari, bulan hingga tahun. Jika dibayangkan mungkin mereka akan bergerak sangat lama, namun, bila dirasakan akan sangat singkat menemui pergantian itu. Menempuh perjalanan ini memang begitu terasa berat, kaki, seakan tak ingin menopang, dan sinar terik siang ini semakin menambah beban yang terasa. Secuil kisah dari hidup bermimpi, semakin hari semakin ingin menggapainya, mewujudkannya, dengan waktu yang sangat singkat. Mustahil memang jika mendapatkan apa yang kita inginkan dengan waktu singkat dan tanpa usaha yang berarti.
Perkenalkan, namaku  Ratri, seorang gadis yang hidup di sebuah pedesaan terpencil yang terus terkucil oleh adanya hukum kasta dan adat yang semakin hari semakin membelenggu. Hidup di lingkungan yang ketat dan keras membuatku semakin ingin memberontak. Yah, setiap hari aku ingin meluruskan pendangan mereka tentang seorang gadis yang berkasta rendah dan tak perlu mengenyam pendidikan. Berbeda dengan mereka yang berkasta atas, sesukan hati dan mudah untuk keluar masuk mengenyam pendidikan, dan sukses di kota. Sedangkan aku? Bermimpi saja aku sudah dilarang, dimatikan sebelum aku bisa meraihnya. Amarah dan dendam selalu aku pendam hingga aku tak mampu lagi menahannya.
Pagi itu, adalah hari penyambutan anak Kepala Desa yang kembali ke desa setelah menempuh pendidikan di Kota. Upacara penyambutannya begitu dilebih-lebihkan, meriah namun itu bagi para manusia berdarah biru, hal tersebut sangat diwajibkan, sedangkan kita? Orang-orang jelata hanya menatap mereka bahagia tanpa bisa merasakan. Jangankan merasakan, membayangkannya pun tak boleh, aku memang anak adat, namun aku tahu ini bagian dari adat yang membelenggu. Aku menghormati adat, namun bukan seperti ini. Ibu kartini telah memperjuangkan kesetaraan perempuan, namun tetap saja hal itu hanyalah sebuah hal yang mustahil dilakukan disini.
Aku mengendap-endap di tengah malam, hanya ingin keluar sejenak untuk bermimpi, bukan hanya bermimpi, merangkainya dan menyusun strategi untuk mewujudkannya. Tanah lapang yang luas di pedesaan ini adalah saksi kunci dimana aku bisa terus bermimpi. Tanpa harus ada yang melarang, dan mematikan semua mimpi yang telah ku rangkai hanya karena adat dan kasta.
Berteman dengan anak berdarah biru memang sangat tabu disini, namun aku, aku adalah seorang anak yang tak ingin menuruti adat begitu saja. Diam-diam aku berteman dengan seorang anak kepala dusun, tak ada yang mengetahui pertemanan kami. Dia yang mengajariku menulis dan membaca, kebanyakan warga desa ini tak bisa melakukan 2 hal itu, hal yang paling kami kuasai adalah berburu dan mengolah makanan. Hal yang sangat membosankan bagiku, setiap malam, ketika kedua orang tuaku terlelap, dan ketika dusun berubah menjadi sepi dan hanya suara hewan malam yang menghiasi, kami bertemu, belajar bersama. Sahabatku Restu, adalah anak yang pandai, sebentar lagi dia akan dikirim ke kota untuk melanjutkan sekolah, setara dengan SMP. Namun aku, SD saja aku tak mengenyamnya, amarah ini semakin tak tertahankan lagi ketika mendengar mereka yang bisa mengenyam pendidikan.
Keinginan untuk bersekolah telah meluap dalam diri ini, aku ingin bersekolah mewujudkan cita-cita dan impianku sebagai seorang guru, yah seorang guru. Agar aku bisa mendidik mereka anak yang berkasta rendah dengan kehidupan yang cukup memprihatinkan. Mereka beranggapan bahwa hidup kita datang dari alam, alam sudah menyediakan apa yang kita butuhkan tanpa harus bersekolah di tengah ekonomi yang jauh dari layak. Mencerdaskan mereka yang ada disini, tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun untuk pendidikan.
Setiap hari aku semakin geram dengan peraturan-peraturan ini, hingga hari ini aku berani untuk mengutarakannya pada mereka, kedua orang tuaku. Tak ada suara lain selain suara jangkrik yang ditemani oleh remang-remangnya obor, sebagai penerangan. Aku duduk di hadapan mereka, “emak, pak, aku ingin sekolah” kataku penuh keberanian, mereka berdua hanya tersenyum kecut melihatku. Aku sudah tahu jawaban mereka, pasti mereka tak mengizinkanku sama sekali. Dan angin semakin berhembus kencang, masuk dalam sela-sela anyaman bamboo yang menjadi tembok di rumah kami. Aku tak putus asa, “buat apa kita hidup kalo kita bodoh? tak bisa membaca, menulis dan lebih bodoh ketika kita melihat mereka semakin pintar?” , amarahku meluap semakin meluap. Tangan bapak terlihat mengenggam erat, seakan ingin mendaratkan padaku, “buat apa sekolah? Kalo kita hidup sudah disediakan alam? buat apa sekolah kalo pintar hanya akan menjadi hama perusak hutan kita?! He? “ tandasnya lantang. Emak hanya terdiam tak berkutik di kursi sebelah ayah berdiri, “Kartini telah memperjuangkan hak kami, hak para perempuan untuk bisa sekolah, termasuk kami, para warga miskin, kenapa adat aku dilarang? “ air mata amarah semakin jatuh deras di pipiku, “Kenapa  kami dilarang untuk bersekolah? Kalau alasannya adalah uang, kenapa kami tetap tak diperbolehkan sekolah?”. Ayah semakin terpojokkan dan pergi dengan amarah yang meluap.
Aku tertuntunduk lesu, namun amarah tetap memuncak dalam diri ini, emak menghampiriku dengan jalan yang tersingsal oleh balutan kain jarik di tubuhnya. Tangannya membelaiku dengan halus, “apa alasanmu bersekolah?” aku menerangkan sedetail mungkin padanya tanpa sedikit alasanku tertinggal. Emak beranjak menghampiri jendela yang terbuka, “sudah dari dulu, para perempuan seperti kita ingin sekolah, namun tak ada yang sampai memberontak seperti ini” beliau menghela napas panjang, “keinginanmu benar bulat?” katanya, pertanyaan itu membuatku semakin yakin, “iya, aku bulat mak”.
Dari bilik bambu kamarku, terdengar suara seorang mengetuknya pelan dengan sebatang kayu. “Aku Restu” bisiknya, aku keluar ke tempat rahasia kita berdua, sambil melihat bintang kami duduk bersebelahan. Tangannya menepuk pundakku, “besok aku akan ke kota, bagaimana? Kau mau ikut?” , raut muka ini terpasang lesu dan aku tak tahu harus menjawab apa ,”Bapak tak mengizinkanku pergi,” , “hey, kau benar-benar keinginanmu itu bulat apa tidak? Kalau kau iya akan ikut, besok jam 9 aku tunggu di sawah pinggir desa. Tanpa ada kata-kata yang keluar, Restu meninggalkanku sendiri, “hey” aku mencoba memanggilnya, namun dia sama sekali tak menoleh.
Rasa bimbang terus menyelimutiku, malam ini benar aku tak dapat tidur, terus terngiang perkataan Restu tadi. Aaaahhhh, aku menghela napas panjang, diri ini terus bertanya-tanya, apa yang seharusnya aku lakukan, apa aku akan kabur? Atau……….
Suara kokok ayam terdengar lantang, suara sapuan lidi yang menggaruk tanah, berseru dan semakin menderu. Ini sekitar jam 6 pagi, dan aku masih bingung , ini adalaha kesempatan emasku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, namun, di sisi lain, aku bingung tak mendapatkan restu dari orang tua. Tangan emak trampil memasukkan batang demi batang kayu ke dalam tungku batu, aku melihatnya dengan tatapan tak pasti. “kenapa?” tanya emak heran, “mak, aku diajak Restu ke kota hari ini, dia akan mengajakku untuk sekolah” jelasku padanya. Emak tercengang kaget mendengarnya, “apa?? Kalo bapakmu dengar bisa habis kau ini nak,” beliau mendekatiku ,”sejak kapan kau berteman dengan anak darah biru? He?” , aku semakin tertunduk “sejak dulu, sudah lama kami berteman, maaf mak”aku semakin takut. Emak meletakkan kayu yang dibawanya dan kemudian pergi ke kamar.
Hari ini bapak sedang ke hutan, jagung yang ditanam di sana sudah saatnya untuk di panen. Hanya aku dan Emak yang ada di rumah, waktu semakin berjalan, sudah hampir jam 9 emak tak keluar dari kamar. Aku masih duduk di pawon, sebuah dapur yang begini adanya,tak banyak alat makan, hanya kayu yang berbaris di sana. Jam sudah pukul 9, dan aku sudah putus asa, ku lihat kea rah luar, maaf Restu, sepertinya memang aku tak diizinkan untuk bersekolah, aku terus menggumam dalam hati.
Bungkusan baju yang dibungkus dengan kain di sodorkan ke arah wajahku, “pergilah” kata emak, “mak..?” aku terkejut , “pergilah, biar emak yang bilang ke bapakmu. Jadilah anak pintar, jangan dibodohkan oleh ilmu yang kau dapat, ingat itu ya?”Emak berpesan, kucium tangannya dan berpelukan dengan emak yang amat ku cinta, air mata ini deras mengalir dan aku berlari keluar menuju tempat yang telah di tentukan oleh Restu. Tangan emak melambai, rasa haru mengumbar dari dalam diri ini, aku terus berlari dengan meneteskan air mata bahagia. Impian, sebentar lagi aku akan mendapatkanmu. Restu menunggu dengan wajah yang bahagia, dia menghampiriku dan membawakan pakaian yang ku bawa. Dia benar-benar bahagia aku datang untuk ikut dengannya ke kota, menimba ilmu.
Mustahil kau bermimpi, jika tak ada usaha untuk mewujudkannya, adat, adalah kerikil yang menghalangiku. Itu hanyalah awal masalah, masih ada masalah-masalah yang datang dalam usahaku mewujudkan impian.
Tak terasa aku sudah 10 tahun meninggalkan desa, dan hari ini aku bersama Restu kembali ke desa dimana kami tinggal. Restu akan tetap di kota, dia akan bekerja sebagai wartawan, dan aku kembali ke desa, mewujudkan impianku, membangun sekolah untuk anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan, dan menjadi seorang guru.
            Rumah itu masih sama seperti dulu, bilik bambu semakin tua dan angin telah merubuhkan sebagian. Aku memasuki rumah itu dengan rasa gembira, ku lihat bapak duduk di ruang tamu sambil menghisap puntun rokok. Beliau tersenyum gembira melihatku, dan aku langsung menghampirinya dan mencium kaki emak dan bapak.
            Berkat usulan Restu , sebuah bangunan yang terbuat dari kayu berdiri, yah, sekolah telah didirikan. Aku diminta untuk mengajarkan membaca dan menulis kepada anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan. Rasa ini sungguh berbunga-bunga, mencerdaskan mereka adalah impianku. Tak pandang kasta, tak pandang ekonomi, semua bisa dan layak mendapatkan pendidikan.
Mimpi itu mistery ketika kita hanya membayangkannya, mimpi itu sederhana ketika kita hanya bermimpi. Dan mimpi itu luar biasa ketika kita berhasil mewujudkannya dengan usaha yang luar biasa. J

Rabu, 03 Oktober 2012

“ Rainy Summer”


Rintik hujan yang jatuh perlahan membasahi jalan hitam yang mulai berlubang itu. Atap seluruh bangunan yang kokoh berdiri pun tak luput dari sapuan beningnya. Tak ada sinar terik yang selalu dikeluhkan setiap harinya, hanya payung yang berjalan menyusuri pedestrian kota. Dinginnya kota selalu membuat orang-orang di sekeliling menutup dirinya rekat-rekat di dalam rumah untuk mencari kehangatan. Namun, berbeda denganku yang selalu ingin keluar kala hujan datang mengguyur kota ini. Aku menyukai rintikannya,  rintikan hujan yang jatuh dari langit membuatku sangat terkagum melihatnya, merasakannya yang menetes di tubuh mungilku dan meman pelangi ketika hujan berhenti bermain denganku.
Bau rumah sakit membuatku semakin bosan berbaring disini, sudah hampir seminggu lamanya aku menjadi penghuni tempat ini. Aku rindu akan hujan di luar sana, merasakan tetesan demi tetesan yang membasahi tubuhku, memandang bunga bakung yang terhampar luas di taman belakang rumah, dan menyaksikan hewan lembab bermunculan. “Hai Summer, kenapa murung sayang?” tanya seorang suster yang datang tanpa memberi tanda kehadirannya. “Aku memandang hujan suster, aku ingin main ke tempat itu” jariku menunjuk ke arah taman belakang rumah sakit “bosan berada di sini” tandasku pada suster Ella yang sudah mulai akrab denganku. Aku tahu, pasti suster Ella tak mengizinkanku bermain di sana, padahal aku sudah sangat ingin bermain bersama rintikan hujan. Kali ini harus mengubur keinginanku untuk bermain ke  taman dan bermain bersama rintik hujan.
Bandung, hari ini diguyur hujan membut beberapa tempat mengalami kebanjiran, beberapa orang ada yang menyalahkan hujan, mereka berpikir hujan adalah penyebab kesengsaraan mereka, rumah mereka terendam air, banyak yang kecelakaan gara-gara mengebut menghindari hujan dan banyak lagi alasan yang tak ku sukai lainnya. Bagiku, hujan tidaklah sejahat itu, hujan turun sebagaimana mestinya ia datang, memberikan tetesan kehidupan kepada makhluk bumi yang mulai haus akan air. Itu salah mereka, mengapa mereka tak merawat apa yang telah Tuhan berikan, mereka acuh terhadap apa yang ada di muka bumi ini. Lagi-lagi aku kesal dengan pemberitaan media hari ini yang mengekspose hujan, seolah-olah dia benar-benar jahat bagi para makhluk bumi. Mama melihat raut kesalku sambil terus melanjutka mengoles selai di atas sisiran roti.
“Kapan musim panas dateng ya dek? Cucian mama susah kering nih” mama mengeluh, lagi-lagi ada yang menyalahkan hujan, “biarin aja hujan turun” , mama hanya mengerutkan dahinya dan kemudian tak berkata-kata lagi. Bosan, setiap hari hanya berbaring tanpa aktifitas yang berarti, aku rindu sekolah, aku rindu bermain bersama sahabat-sahabatku, Dea dan Lila, dan aku rindu bermain di padang bunga bakung bersama Harry. Sahabat kecilku itu membuatku semakin rindu dan semakin ingin keluar dari tempat membosankan ini. “Ma, kapan aku bisa pulang Ma?” rengekku sebagai jurus membujuk mama agar mengeluarkanku dari tempat ini. Sebenarnya aku sudah terbiasa dengan Rumah Sakit, dari kecil aku sering menginap di tempat ini, mendapat perawatan yang lama dan menghilangkan masa kanak-kanakku yang indah. Mama adalah sosok orang yang sangat sabar menghadapiku, beliau benar-benar wanita hebat yang hadir dalam hidupku, memberikan kesejukan bak air hujan yang menetes kulitku. Aku tak ingin menyusahkannya seperti ini terus-menerus, aku ingin menyusul ayah di sana, tempat yang abadi yang tak merepotkan orang yang ku sayang.
Hari ini, aku menikmati lagi masa yang sempat hilang beberapa hari kemarin, merasakan suasana gaduh kelas, merasakan nikmatnya belajar bersama. Senyumku kembali mengembang hari ini, aku kembali beraktifitas seperti yang lain. Tak pernah merasa sedih setelah keluar dari rumah sakit akibat penyakit yang kini kujadikan sahabat. Aku tak ingin diistimewakan oleh orang di sekitarku karena keadaanku seperti ini. Bertingkah bak orang yang sehat tanpa masalah pada organ penting dalam tubuhnya, bertindak bebas tanpa harus memikirkan penyakit yang ada menjadikan tubuhnya sebagai rumah idamannya.  Aku iri dengan burung yang bisa terbang bebas menikmati butiran hujan langsung dari udara, aku hanya bisa melihat butiran hujan seudah merasakan kepuasan dalam diri.
Canda tawa kami menggema di ruang kelas, menikmati guyonan yang dibuat oleh Lila dan Dea, bersama mereka adalah kebahagian yang tak tergantikan oleh apapun. Dea beranjak dari tempat duduknya dan melihat kea rah halaman sekolah, hujan sedang mengguyur Bandung siang ini. “Aduuh, kenapa hujan dateng lagi sih!” kesalnya , “hujan itu indah, membawa sejuta kesejukan dalam tubuh ini, damai dan merdu suaranya”  protesku pada Dea. Lila menatapku lekat-lekat, “gue heran deh, nama sama kesukaan lo tuh nggak sinkron mer” “iya, Summer itu musim panas, dan seharusnya itu, nama lo diganti aja Rainy gitu” tambahnya, kami bertiga terkekeh mendengar perkataan itu.
Mama memberiku nama Summer karena dia ingin aku sebagai anak yang selalu cerah di sepanjang usia. Menjadi cahaya yang tiada henti menyinari kehidupan, memberikan kehangatan dan selalu bahagia selamanya. Seperti matahari yang selalu memberikan sinar cerahnya untuk kehidupan Makhluk di bumi yang indah ini. Hujan sedang berhenti siang ini, aku ingin melepas kerinduan di taman bunga bakung yang mekar saat musim hujan dan memetik bunga bersama Harry.
Tebakanku benar kali ini, Harry ternyata sedang berada di sana memandang bunga dari atas gubuk tua yang berdiri di sudut kebun. Percobaanku untuk mengagetkan Harry ternyata tidak berhasil, “yahh gagal” , “lo ngapain ke sini? Gak dilarang sama Mama Nera?” Harry mencoba menggodaku. Aku berjalan kemudian duduk di sebelahnya, “mama lagi pergi, jadi aku main ke sini aja, bosen di rumah” sambil terus memainkan kaki yang menggantung tak dapat meraih tanah di bawahnya. Harry menatap penuh perhatian pada kebun bunga, dan mataku terus mengekori gerak-geriknya. Dia adalah sahabat yang perlahan tumbuh menjadi cinta pertama dalam hidupku, diam-diam menyukainya tanpa ada yang tahu.
Mama memarahiku hari ini, mendengar aduan bibi kalo tadi bermain ke kebun, kemarahan mama memang sangat beralasan. Dia tak ingin sesuatu terjadi padaku, tak ingin kehilangan putri semata wayangnya yang sangat ia cintai. Aku hanya tertunduk lesu mendengarkan mama berbicara memarahiku, “mulai besok kamu home schooling  aja” kata-kata mama benar-benar tak ku sangka. Aku terkejut mendengarnya, mama benar-benar mengkhawatirkan keadaanku “Ma?, aku ingin sekolah di sekolah formal” pintaku. Mama diam dan tak merespon keinginanku, aku memahami maksud mama, namun aku tak ingin kesepian di rumah tanpa ada canda teman-teman yang setiap hari menghiasi hariku.
Sudah 5 bulan aku menjalani homeschooling, melihat wajah mama yang setiap hari cerah memandangiku, sedikit mengurangi khawatir yang selama ini selalu dipikirkannya. Sebentar lagi musim kemarau, yah.. aku tak bisa melihat hujan beberapa bulan lamanya. Semoga aku masih bisa melihat hujan, sebelum mata ini tak membuka lagi, dan sebelum nafasku berhenti berhembus. Semakin hari semakin berkurang hujan yang turun, tak seperti biasanya, ingin sekali aku menikmatinya lagi, sembari memandang bunga bakung yang tumbuh luas di kebun. Sebentar lagi bunga-bunga yang tumbuh di taman itu akan layu dan tak kan mekar lagi tanpa kehadiran hujan.
Suara bel rumah berbunyi 3 kali, dalam hati aku menghitungnya sambil berbaring di kamar, pintu kamar yang tertutup perlahan terbuka. Harry datang dengan seikat bunga bakung merah yang ia petik di kebun, tempat kita. “Ini aku bawain bunga kesukaanmu” katanya datar, aku terkejut melihatnya membawa bunga kesukaanku, “Harry, makasi”, “aku bosan, bagaimana bunga-bunga di sana? Tumbuh subur kah?” cemasku karena hujan sudah jarang datang. Harry menghela nafas panjang sebelum ia beranjak dari tempat duduknya, “gak usah dipikirin, aku bakal jaga tanaman yang kamu suka hingga tumbuh subur” katanya menenangkanku. Aku terdiam sejenak, berpikir untuk kesekian kalinya aku ingin pergi ke sana melihat bunga sebelum hujan berhenti, “ajak aku ke sana, tolong” ini kesekian kalinya aku memohon pada Harry untuk mengantarkanku ke tempat itu, dia tercengang mendengar permintaanku yang tak mudah untuk di jawab. Terlalu lama ia berdiam sebelum akhirnya mengiyakan apa yang ku inginkan.
Harry mengendarai sepeda dengan pelan, sementara aku berpegangan erat pada pinggangnya. Udara sore itu dingin sekali, bau basah hujan masih tajam menusuk hidungku yang peka. Menikmati hembusan angin di sepanjang perjalanan, melihat dedaunan yang terlihat basah dan melihat burung kembali keluar dari sarangnya. Aku memejamkan mata, menikmati segala yang telah Tuhan berikan, alam yang indah. “kita sudah sampai” tengok Harry, aku bergegas turun dari sepeda dan berjalan mengelilingi kebun. Warna merah menghiasi kebun , seolah menyambutku bak seorang putrid yang berjalan menuju karpet merah. Ini seperti surga bagiku, kedamaian dan keindahan yang ku pandang, aku tak merasa sebagai orang yang menanti waktu untuk pergi dari indahnya dunia ini, dan meninggalkan hujan.
“Jika aku pergi, jagalah bunga ini dengan baik ya,” , Harry mengerutkan dahinya, “aku tak ingin menjadi Summer yang merusak kedamaiannya, aku ingin selalu menikmati keindahannya bersama hujan.” Gerimis kembali datang, “ayo kita berteduh” Harry menggenggam tanganku erat membawaku ke gubuk di tengah kebun untuk berteduh. Air mata ini perlahan menetes, butirannya terus mengalir deras membasahi pipiku yang terlalu kering. “Seharusnya, aku tak membawamu ke sini, hujan semakin deras” Harry terus menyalahkan dirinya yang telah membawa Summer ke tempat itu. “Wajahmu pucat sekali, kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kecemasan. Kini aku bisa merasakan hujan menetes dan membasahi tubuhku, setelah sekian lama tak ku rasakan. Tubuh ini semakin lemas, terhanyut oleh hujan yang membasahiku, dinginnya terlalu dalam menusuk tulang, hingga ku tak sanggup untuk bernapas.
Hujan tak berhenti dari tadi, sejak aku berada di kebun hingga aku telah berbaring di atas kasur kamar yang telalu hangat. Mama yang membawaku kemari, selang oksigen kembali menutupi hidungku, membantuku bernapas dengan baik. Perjuanganku semakin rapuh untuk bertahan, dia yang telah berdiam di dalam tubuhku bertahun-tahun yang lalu, semakin kuat membawaku ikut bersama hujan. Mama menangis di sudut kamar, namun ia menyembunyikannya dariku, sedangkan Harry, terlihat begitu bersalah, ia terus menatapku. Seikat bunga bakung yang dibawanya, kini telah mengihiasi kamarku, air yang menggenangi tangkainya membantunya untuk kuat dan tetap indah, meski tak bertahan lama ia menampakkan keindahannya.
Mataku berpaling kearah mama berdiri, Mama tak terlalu pintar menyembunyikan kesedihannya, “Ma, aku yang mengajak ke sana, aku ingin melihat bunga mekar di kebun, jangan salahkan Harry ya Ma” Mama mengangguk dengan air mata yang semakin deras mengalir di pipinya, sementara Harry hanya terdiam. Aku tahu apa yang ia rasakan, bersalah itulah rasa yang kini berada dalam dirinya, “Aku bakal terus mekar kok, mekar dalam hati kalian, bersinar bagaikan matahari yang tak pernah berhenti untuk menyinari bumi” senyumku mengembang, agar mereka tak terlalu larut dengan apa yang di rasakan. Bak ranting yang terhempas angin kencang, dia patah dan terjatuh dari batang yang menyangganya. Kini, aku telah rapuh, pertahananku kalah oleh dia yang telah lama berdiam dalam tubuhku, menjatuhkanku bagaikan ranting tadi dan perlahan dia menutup mataku, membawaku dalam kesuah kedamaian abadi.
Kini, hujan mengiringi kepergianku, menjemputku untuk ikut bersamanya. Apa yang aku sukai yaitu Hujan telah mengantarkanku ke tempat yang abadi. Disana, aku bisa bermain dengan hujan sesuka hatiku, tanpa harus tunduk pada sebuah penyakit yang sempat menghentikanku untuk menikmati hujan. Musim hujan telah terganti oleh musim panas, kini apa yang orang harapkan telah datang. Bias cahaya membentuk setengah lingkaran berwarna yang mengiasi langit sore itu. Aku pergi dengan hujan, panas dan pelangi menyambut kepergianku dengan, dan mengucapkan selamat tinggal. Mama, Harry , Lia , Dea dan mereka yang ku cintai lainnya, melepasku dengan tangis yang berujung pada sebuah pengikhlasan.
“Hujan bukanlah sebuah kesalahan, dia datang membawa air kedamaian, menghidupkan bunga-bunga yang mekar. Dia datang membawa kehidupan yang damai, meski banyak orang yang tak menyadari perannya dan selalu menyalahkan. Hujan dan Matahari sama-sama sumber penting dalam kehidupan di bumi. Namun, cintaku pada hujan lebih dalam, dia yang menumbuhkan bunga bakung itu, bunga indah yang banyak tumbuh kala hujan datang. Summer juga suka pada matahari, ketika hujan pergi dan ketika matahari muncul, darisitulah pelangi tersenyum. Aku Summer dan aku menyukai hujan, matahari, pelangi, dan bunga bakung, dan tentu aku mencintai Mama. Terima kasih mama, Summer.