
Perkenalkan,
namaku Ratri, seorang gadis yang hidup di
sebuah pedesaan terpencil yang terus terkucil oleh adanya hukum kasta dan adat
yang semakin hari semakin membelenggu. Hidup di lingkungan yang ketat dan keras
membuatku semakin ingin memberontak. Yah, setiap hari aku ingin meluruskan
pendangan mereka tentang seorang gadis yang berkasta rendah dan tak perlu
mengenyam pendidikan. Berbeda dengan mereka yang berkasta atas, sesukan hati
dan mudah untuk keluar masuk mengenyam pendidikan, dan sukses di kota.
Sedangkan aku? Bermimpi saja aku sudah dilarang, dimatikan sebelum aku bisa
meraihnya. Amarah dan dendam selalu aku pendam hingga aku tak mampu lagi
menahannya.
Pagi
itu, adalah hari penyambutan anak Kepala Desa yang kembali ke desa setelah
menempuh pendidikan di Kota. Upacara penyambutannya begitu dilebih-lebihkan, meriah
namun itu bagi para manusia berdarah biru, hal tersebut sangat diwajibkan,
sedangkan kita? Orang-orang jelata hanya menatap mereka bahagia tanpa bisa
merasakan. Jangankan merasakan, membayangkannya pun tak boleh, aku memang anak
adat, namun aku tahu ini bagian dari adat yang membelenggu. Aku menghormati
adat, namun bukan seperti ini. Ibu kartini telah memperjuangkan kesetaraan
perempuan, namun tetap saja hal itu hanyalah sebuah hal yang mustahil dilakukan
disini.
Aku
mengendap-endap di tengah malam, hanya ingin keluar sejenak untuk bermimpi,
bukan hanya bermimpi, merangkainya dan menyusun strategi untuk mewujudkannya. Tanah
lapang yang luas di pedesaan ini adalah saksi kunci dimana aku bisa terus
bermimpi. Tanpa harus ada yang melarang, dan mematikan semua mimpi yang telah
ku rangkai hanya karena adat dan kasta.
Berteman
dengan anak berdarah biru memang sangat tabu disini, namun aku, aku adalah
seorang anak yang tak ingin menuruti adat begitu saja. Diam-diam aku berteman
dengan seorang anak kepala dusun, tak ada yang mengetahui pertemanan kami. Dia yang
mengajariku menulis dan membaca, kebanyakan warga desa ini tak bisa melakukan 2
hal itu, hal yang paling kami kuasai adalah berburu dan mengolah makanan. Hal yang
sangat membosankan bagiku, setiap malam, ketika kedua orang tuaku terlelap, dan
ketika dusun berubah menjadi sepi dan hanya suara hewan malam yang menghiasi,
kami bertemu, belajar bersama. Sahabatku Restu, adalah anak yang pandai,
sebentar lagi dia akan dikirim ke kota untuk melanjutkan sekolah, setara dengan
SMP. Namun aku, SD saja aku tak mengenyamnya, amarah ini semakin tak
tertahankan lagi ketika mendengar mereka yang bisa mengenyam pendidikan.
Keinginan
untuk bersekolah telah meluap dalam diri ini, aku ingin bersekolah mewujudkan
cita-cita dan impianku sebagai seorang guru, yah seorang guru. Agar aku bisa
mendidik mereka anak yang berkasta rendah dengan kehidupan yang cukup
memprihatinkan. Mereka beranggapan bahwa hidup kita datang dari alam, alam
sudah menyediakan apa yang kita butuhkan tanpa harus bersekolah di tengah
ekonomi yang jauh dari layak. Mencerdaskan mereka yang ada disini, tanpa harus
mengeluarkan uang sepeserpun untuk pendidikan.
Setiap
hari aku semakin geram dengan peraturan-peraturan ini, hingga hari ini aku
berani untuk mengutarakannya pada mereka, kedua orang tuaku. Tak ada suara lain
selain suara jangkrik yang ditemani oleh remang-remangnya obor, sebagai
penerangan. Aku duduk di hadapan mereka, “emak, pak, aku ingin sekolah” kataku
penuh keberanian, mereka berdua hanya tersenyum kecut melihatku. Aku sudah tahu
jawaban mereka, pasti mereka tak mengizinkanku sama sekali. Dan angin semakin
berhembus kencang, masuk dalam sela-sela anyaman bamboo yang menjadi tembok di
rumah kami. Aku tak putus asa, “buat apa kita hidup kalo kita bodoh? tak bisa
membaca, menulis dan lebih bodoh ketika kita melihat mereka semakin pintar?” ,
amarahku meluap semakin meluap. Tangan bapak terlihat mengenggam erat, seakan
ingin mendaratkan padaku, “buat apa sekolah? Kalo kita hidup sudah disediakan
alam? buat apa sekolah kalo pintar hanya akan menjadi hama perusak hutan kita?!
He? “ tandasnya lantang. Emak hanya terdiam tak berkutik di kursi sebelah ayah
berdiri, “Kartini telah memperjuangkan hak kami, hak para perempuan untuk bisa
sekolah, termasuk kami, para warga miskin, kenapa adat aku dilarang? “ air mata
amarah semakin jatuh deras di pipiku, “Kenapa
kami dilarang untuk bersekolah? Kalau alasannya adalah uang, kenapa kami
tetap tak diperbolehkan sekolah?”. Ayah semakin terpojokkan dan pergi dengan
amarah yang meluap.
Aku
tertuntunduk lesu, namun amarah tetap memuncak dalam diri ini, emak
menghampiriku dengan jalan yang tersingsal oleh balutan kain jarik di tubuhnya.
Tangannya membelaiku dengan halus, “apa alasanmu bersekolah?” aku menerangkan
sedetail mungkin padanya tanpa sedikit alasanku tertinggal. Emak beranjak
menghampiri jendela yang terbuka, “sudah dari dulu, para perempuan seperti kita
ingin sekolah, namun tak ada yang sampai memberontak seperti ini” beliau menghela
napas panjang, “keinginanmu benar bulat?” katanya, pertanyaan itu membuatku
semakin yakin, “iya, aku bulat mak”.
Dari
bilik bambu kamarku, terdengar suara seorang mengetuknya pelan dengan sebatang
kayu. “Aku Restu” bisiknya, aku keluar ke tempat rahasia kita berdua, sambil
melihat bintang kami duduk bersebelahan. Tangannya menepuk pundakku, “besok aku
akan ke kota, bagaimana? Kau mau ikut?” , raut muka ini terpasang lesu dan aku
tak tahu harus menjawab apa ,”Bapak tak mengizinkanku pergi,” , “hey, kau
benar-benar keinginanmu itu bulat apa tidak? Kalau kau iya akan ikut, besok jam
9 aku tunggu di sawah pinggir desa. Tanpa ada kata-kata yang keluar, Restu
meninggalkanku sendiri, “hey” aku mencoba memanggilnya, namun dia sama sekali
tak menoleh.
Rasa
bimbang terus menyelimutiku, malam ini benar aku tak dapat tidur, terus
terngiang perkataan Restu tadi. Aaaahhhh, aku menghela napas panjang, diri ini
terus bertanya-tanya, apa yang seharusnya aku lakukan, apa aku akan kabur? Atau……….
Suara
kokok ayam terdengar lantang, suara sapuan lidi yang menggaruk tanah, berseru
dan semakin menderu. Ini sekitar jam 6 pagi, dan aku masih bingung , ini
adalaha kesempatan emasku untuk mendapatkan apa yang aku inginkan, namun, di
sisi lain, aku bingung tak mendapatkan restu dari orang tua. Tangan emak
trampil memasukkan batang demi batang kayu ke dalam tungku batu, aku melihatnya
dengan tatapan tak pasti. “kenapa?” tanya emak heran, “mak, aku diajak Restu ke
kota hari ini, dia akan mengajakku untuk sekolah” jelasku padanya. Emak tercengang
kaget mendengarnya, “apa?? Kalo bapakmu dengar bisa habis kau ini nak,” beliau
mendekatiku ,”sejak kapan kau berteman dengan anak darah biru? He?” , aku
semakin tertunduk “sejak dulu, sudah lama kami berteman, maaf mak”aku semakin
takut. Emak meletakkan kayu yang dibawanya dan kemudian pergi ke kamar.
Hari
ini bapak sedang ke hutan, jagung yang ditanam di sana sudah saatnya untuk di
panen. Hanya aku dan Emak yang ada di rumah, waktu semakin berjalan, sudah
hampir jam 9 emak tak keluar dari kamar. Aku masih duduk di pawon, sebuah dapur
yang begini adanya,tak banyak alat makan, hanya kayu yang berbaris di sana. Jam
sudah pukul 9, dan aku sudah putus asa, ku lihat kea rah luar, maaf Restu, sepertinya memang aku tak diizinkan
untuk bersekolah, aku terus menggumam dalam hati.
Bungkusan
baju yang dibungkus dengan kain di sodorkan ke arah wajahku, “pergilah” kata
emak, “mak..?” aku terkejut , “pergilah, biar emak yang bilang ke bapakmu.
Jadilah anak pintar, jangan dibodohkan oleh ilmu yang kau dapat, ingat itu ya?”Emak
berpesan, kucium tangannya dan berpelukan dengan emak yang amat ku cinta, air
mata ini deras mengalir dan aku berlari keluar menuju tempat yang telah di
tentukan oleh Restu. Tangan emak melambai, rasa haru mengumbar dari dalam diri
ini, aku terus berlari dengan meneteskan air mata bahagia. Impian, sebentar lagi aku akan mendapatkanmu. Restu menunggu dengan
wajah yang bahagia, dia menghampiriku dan membawakan pakaian yang ku bawa. Dia benar-benar
bahagia aku datang untuk ikut dengannya ke kota, menimba ilmu.
Mustahil
kau bermimpi, jika tak ada usaha untuk mewujudkannya, adat, adalah kerikil yang
menghalangiku. Itu hanyalah awal masalah, masih ada masalah-masalah yang datang
dalam usahaku mewujudkan impian.
Tak
terasa aku sudah 10 tahun meninggalkan desa, dan hari ini aku bersama Restu
kembali ke desa dimana kami tinggal. Restu akan tetap di kota, dia akan bekerja
sebagai wartawan, dan aku kembali ke desa, mewujudkan impianku, membangun
sekolah untuk anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan, dan menjadi seorang
guru.
Rumah itu masih sama seperti dulu, bilik bambu semakin
tua dan angin telah merubuhkan sebagian. Aku memasuki rumah itu dengan rasa
gembira, ku lihat bapak duduk di ruang tamu sambil menghisap puntun rokok. Beliau
tersenyum gembira melihatku, dan aku langsung menghampirinya dan mencium kaki
emak dan bapak.
Berkat usulan Restu , sebuah bangunan yang terbuat dari
kayu berdiri, yah, sekolah telah didirikan. Aku diminta untuk mengajarkan
membaca dan menulis kepada anak-anak yang tak bisa mengenyam pendidikan. Rasa ini
sungguh berbunga-bunga, mencerdaskan mereka adalah impianku. Tak pandang kasta,
tak pandang ekonomi, semua bisa dan layak mendapatkan pendidikan.
Mimpi
itu mistery ketika kita hanya membayangkannya, mimpi itu sederhana ketika kita
hanya bermimpi. Dan mimpi itu luar biasa ketika kita berhasil mewujudkannya
dengan usaha yang luar biasa. J