“Friendship is…..”
#Gue musti perang melawan Ngantuk (Nera)
Matahari masih begitu kaku untuk
memancarkan sinarnya, langit yang masih kental dengan cat hitam yang melekat,
serta titik-titik putih yang masih setia memancarkan sinarnya. Pagi itu,
sekitar pukul 4 subuh, keheningan yang kurasakan perlahan lenyap oleh dering
dahsyat jam weker yang ku letakkan di meja tepat disampingku. Buyar semua mimpi yang sedari tadi ku
nikmati, dengan mata yang masih terpejam, ku matikan benda menyebalkan itu,
suaranya begitu berisik , mengusik telinga. “huuuhh” dengusku kesal, seakan
enggan untuk beranjak dari tempat berukuran 3x4 yang berbalut warna merah hati,
dan sebuah lampu tidur mungil yang menyala dengan cahaya orangenya. Hari ini,
senin 26 April 2012, aku sengaja memasang waktu pukul 4 agar ku terjaga dari
lelapnya tidur yang tak ingin ku tinggalkan. Bergegas ke berjalan menuju arah
kamar mandi yang jaraknya tak jauh dari kamar itu. Meski mata masih ingin tetap
tertutup, namun ku paksakan untuk tetap terjaga. Jogja, itulah yang selalu
hadir dalam pikiranku sejak beberapa hari yang lalu. Iya, hari ini adalah hari
yang mungkin akan menjadi hari yang menyenangkan bagiku, tapi entahlah, aku
masih ragu apakah hari ini akan menjadi hari seperti yang ku bayangkan beberapa
hari yang lalu. Jalan-jalan menikmati etnik kota itu, belanja, berfoto atau…,
aku masih terus bertanya-tanya apa yang akan terjadi. Suara gedoran pintu dari
luar teredngar semakin keras, “Ra,, Ra,,?? Apa kamu di dalam?” Seorang wanita yang
dengan lirih bertanya dibalik pintu itu begitu akrab ku dengar sehari-hari.
“iya ma” ku menjawab malas karena masih terlalu pagi bagiku untuk terjaga di
hari itu.
“ayoo anak-anak, kumpul, bapak akan
absen satu-persatu” suara pak Naryo sudah meledak-ledak di pagi itu,
menertibkan murid SMA Pelita yang akan segera berangkat menuju kota Sri Sultan
Hamengku Buwono . Uapan demi uapan terus keluar dari mulutku yang diimbangi
oleh mata saya tanda masih ingin memeluk guling lebih lama. Seorang meluncurkan
senggolan ringan ke arah siku, namun bagitu yang masih kalut dalam keadaan
mengantuk, senggolan ringan itu bak
sebuah tonjokan keras yang melayang, yang membuatku terperanga merasakannya,
“Lo masih ngantuk ya?” Tanya Dinda, teman sebangkuku yang berdiri di sampingku.
Aku meraih kedua tanganku untuk mengucek kedua mata yang sedari tadi ingin
tetap tertidur lelap, “ini masih jam 5 pagi tauk, biasanya jam segini kan gue
masih ngimpi kesana kemari, kalo tuh ngimpinya baek gue gak bakal rela
dibangunin kaya tadi, huuh.” Kekesalan itu sepertinya sudah memuncak
diubun-ubun.
#6-7
, kedaan yang begitu membosankan bagiku (Nera)
Yap , Jogja bakal gue tempuh sekitar
6-7 jam lamanya, meningat waktu tempuh yang masih begitu lama, membuatku kesal,
aku putuskan untuk terlelap dibalik selimut tipis yang sengaja ku bawa dari
rumah. Disamping gue tentu saja Dinda yang selalu setia setiap saat dimana gue berada, dia sahabat kecilku
, dari SD ketika aku masih dibilang orang pendatang di wiyalah kompleks perumahan
dinas bokap. Maklum dulu bokap selalu berpindah-pindah, karena pekerjaannya
sebagai pegawai pemerintahan kota,
setelah akhirnya menetap di sebuah perumahan elit yang jaraknya tidak
jauh dari perumahan yang dulu pernah aku tempatin sekaligus kenal dekat sama Dinda. Meski pindah, aku
tetep maen ke rumah sahabatku itu. Bermain bekel, Barbie dan berbagai permainan
khas cewek yang selalu kita mainkan setiap aku mengunjungi rumahnya begitu pula
sebaliknya. Kami memang anak rumahan yang bermain selalu berada dalam di dalam ruangan. Orang
tua kami selalu melarang ketika kami akan bermain bebas layaknya anak-anak lain
yang bermain dengan asyiknya dilapangan. Maklum, waktu itu disekitar Bandung,
sering terjadi penculikan anak yang membuat orang tua kami begitu khawatir.
Main kerumah Dinda aja mesti dianter sama supir, kesannya anak mama banget.
Aslinya sih dulu pengen berontak, tapi tak apalah, demi kebaikan juga. Banyak
teman sekolah yang mengejek kami dengan sebutan anak mama, aku yang cuek selalu tak memperdulikan ejekan itu
begitu pula dengan Dinda.
Stop cerita panjang lebar mengenai masa
kecil yang dibilang kurang begitu membahagiakan, haha. Bis melaju dengan
kecepatan yang kira-kira menurut pengetahuanku, dia melaju dengen kecepatan yang lebih. Gara-gara
hal itu juga tidurku terganggu, menyebalkan bukan?
“Ra, Ra” panggilan lirih itu menyeruak
membuyarkan mimpi yang hampair kuhampiri, aku mendengus kesal, aku tau itu
suara siapa, “apaan sih Din?” uapan terus meluncur serta mukaku yang lusuh oleh
kantuk. “coba lihat deh, bangku belakang, lo tau gak Izzal Wijaya,?”
Pertanyaan Dinda yang menurutku agak
risih mendengarnya, iya memang aku tahu siapa Izzal Wijaya, murid pindahan luar
negri yang populer karena ketampanyannya dan berbagai prestasi sepak bola yang
pernah ia torehkan, serta cewek-cewek di sekolahan termasuk sahabat ku sendiri,
Dinda Surachman , yang menurut gue rugi banget memuji-muji ketampanannya itu
dan bla bla bla…, aku emang nggak pernah
tertarik dengan hal-hal begituan, menurutku, hal itu sama sekali gak penting
buat diurusi. Terserah mereka bilang aku aneh, namun its me. “emang kenapa dia Din?, Lo naksir dia ya?” tanyaku sengit.
Dinda dengan cepat menyambar pertanyaanku dengan raut kecewa oleh perkataan
sengitku barusan, “dia tampan banget ya Ra, duhhh andaiiiii…” sebelum dia
melanjutkan deskripsi mendalam mengenai cowok popular itu, aku cepat-cepat
memotongnya, “udah nyampe mana sih?”
“Tau
ah, Tanya aja noh, sama sopirnya!” Dinda mengerucutkan bibir merah tanda dia
akan segera berapi-api tapi aku gak peduli itu, kuraih selimut tipis dan
kembali memejamkan mata.
#Finnaly,
Jogja di depan mata !
Setelah menempuh perjalanan yang cukup
lama , akhirnya aku menginjakkan kaki di Kota yang selalu ku idam-idamkan
sebagai kota dimana aku tinggal bersama suami dan anak-anakku kelak, konyol
tapi itulah yang ku inginkan.
Seseorang menyenggolku dengan keras, aku
yang dari tadi berusaha dengan hati-hati menuruni bis, kini terpeleset oleh
senggolan itu, yapz, seseorang itu adalah cowok yang tadi dibicarakan oleh
Dinda sepanjang perjalanan. Kesel , tanpa kata-kata, ku pandangi wajahnya yag
setengah keturunan bule itu dengan tegas. Mata kami saling memandang, namun
pandangan yang terlontar hanyalah sebuah pendangan kemarahan. Aku langsung bergegas pergi menghamipiri Dinda
yang sudah dari tadi menungguku di bawah.
Aku mengguman tanpa henti, meluapkan
kekesalah karena bule populer itu tak bertanggungjawab atas kesalahan yang ia
lakukan. “harusnya tuh bilang minta maaf kek, atau apalah, tanda kalo dia tuh
menyesali kesalahannya.” Gumamku yang tiada henti mengalir deras dari mulutku
yang telah mengerucut bak gunung berapi yang sebentar lagi memuntahkan lahar
panasnya. “lo kenapa sih Ra?” , pertanyaan polos yang terlontar dari mulut
Dinda yang penasaran.
“gue
bingung ya? Kenapa juga tuh orang gak punya tanggung jawab banget, tuh orang
cowok bukan sih? “
“siapa
Ra?”
“Izzal
Wijaya, cowok cool yang bla bla bla…” expressi kesal terus menyelimut di balik wajah
khas Chineese yang Nera miliki.
“huuuuhhh”
dengus Dinda sabar, dia tersenyum simpul mendengar barusan.
Tujuan objek pertama kita adalah Candi
Prambanan, tempat yang menjadi simbol kisah romantic yang terjalin diantara
Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso.
Berjalan menyusuri area sekitar candi
yang ramai dengan para pengunjung, hari ini adalah hari libur, jadi wajar, jika
obyek wisata ini didatangi para pengunjung. Aku asyik memotret obyek dengan kamera
DSLR yang ku kalungkan di leher. Tak jarang kami pun
bergantian memotret satu sama lain, Aku dan Dinda tentunya. Dia kerap jadi model dari
setiap hobiku memotret, hobi yang baru ku tekuni sejak ku dapatkan hadiah
kamera ini yang berasal dari bokap, ketika beranjak menuju usia yang dibilang
orang-orang adalah usia yang sudah dianggap dewasa. Udah bisa buat SIM, KTP ,
tentunya.
#Ketemu
si Bule, no, no!
Kantin selalu penuh dan sesak ketika
jam istirahat tiba, seperti biasa aku sama Dinda, nyari tempat pewe, pojokan,
disitu viewnya bagus, bisa liat kebun sekolah nan asri serta hembusan angin
yang tenang. Mie goreng mbok Yem selalu kami pesan , rasanya gak kalah sama
restoran ternama di Bandung. Aku sama Dinda
ngobrol asik, dari soal menggosipkan guru yang tadi mengajar, sampai
membicarakan tingkah adik kelas yang
mereka anggap lucu dan pantas dijadikan bahan pembicaraan.
Di tengah-tengah pembicaraan ,
tiba-tiba , seorang pria dengan postur tubuh sekitar 178 cm, berparawakan bule
dengan membawa semangkuk baso serta
segelas es the , “boleh gue gabung?” , senyum bak actor terkenal ia umbar di
hadapan kami. Aku kaget, mata terpelolok tak percaya serta berharap cowok itu
harusnya cepat pergi dari hadapanku . Enek banget litany setelah apa yang ia lakukan sewaktu di Jogja
lusa.
Dinda dengan cepat mempersilahkan Izzy
alias Izzal Wijaya duduk disampingnya, pas berhadapan dengan mukaku. Ampun Tuhan, kenapa mesti dihadapan gue sih,
kenapa juga si Dinda jadi kegatelan gitu, kaya uler keket. Semua cewek dikantin terpenganga melihat Izzy
menghampiri meja kami, mereka terkejut, arjuna sekolahan pelita itu tiba-tiba
duduk dan makan bersama kami. “oh ya, sorry ya buat yang kemaren lusa”
wajahnya begitu santai mengucapkan kalimat itu, sementara aku berapi-api
melihat wajahnya yang sok cool itu. Ku mengangkat bahu, “oh ya,” jawban singkat,
padat dan jelas yang cocok dikasih ke orang yang gak bertanggung jawab itu. Kejadian kapan, ngucapin maafnya kapan, tuh
cowok pa bukan sih. Hatiku terus
menggumam , mengingat-ingat kesalahan yang pernah dibuatnya.
“biasanya kalian pulang naik apa?”
sambil menyumpit mie yang masih panas
“Kita naek bis umum” , Dinda
menyerobot menjawab pertanyaan yang dilayangkan oleh Izzy barusan. Dengan wajah
nggak terima kemudian menendang pelan kaki Dinda yang berhadapan dengan kakiku,
namun Ia tak menghiraukannya.
“nanti, boleh nggak gue anter?”
“boleh” dengan terbata Dinda
menjawabnya, kali ini bener-bener kalah cepet dri Dinda, seolah dia sudah tau
apa yang akan dikatakan Izzy.
Kami berdua diantar dengan menggunakan
mobil Toyota Altis keluaran terbaru berwarna hitam. Izzy adalah salah seorang
anak Konglomerat di Jakarta, mobil mewah mana aja dia selalu berganti-ganti
ketika berangkat sekolah. Hal itulah yang menjadi ketertarikan para cewek-cewek
di sekolahan. Aku gak peduli dia cekep, kaya, tapi sombongnya minta ampun.
Lebih baik berteman dengan orang biasa, namun mereka begitu kaya akan hati.
Mobil itu kini melaju melintasi jalan
perumahan Dinda, tujuan pertama. “makasih ya “ senyum Dinda begitu dibuat-buat
agar Nampak manis dihadapan Izzy, namun aku tau, senyum itu sama sekali tak
pantas ia lontarkan. Dia lebih cantik jika dia natural tanpa dibuat-buat. Nyengir
lihat kecentilan sahabatku itu, Izzy membalasnya dengan senyum yang seketika
pudar.
Terlihat dari kaca spion, Dinda
melambaikan tangan, sampai perlahan menghilang. Ini adalah sebuah pengalaman
yang sama sekali tidak nyaman bagitu, pertama, aku udah mandang buruk orang
ini, dan kedua, aku canggung mau ngomong apa. Dalam perjalanan hening
menyelimuti suasana di dalam mobil mewah itu. Aku hanyut dalam kecanggungan
yang begitu dahsyat. Rasa benci pudar, karena aku lirik mengekor kea rah Izzy,
ternyata ganteng juga nih cowok, pikirku dalam hati. Aku terkikik dengan pikiran yang seklebet lewat.
“Ra, kita mampir dulu ke Kedai, “ , Aku mengerutkan dahi, heran, “ngapain?” ,
“Cuma pengen minum sama kamu aja” senyum lebar ia tawarkan saat itu. Entah apa
yang membuatku terhipnotis dengan cowok yang awalnya aku benci itu, namun
sekarang kenyataannya berbeda. “sori, gue harus nganter nyokap ,maaf ya”
tolakan halus diarahkan pada Izzy, “oh, ya sudah, gak apa-apa kok, lain kali
ya. Mungkin terlalu cepat”, dia menjawabnya santai tanpa ada kekecewaan yang
mendatanginya. Sampailah di depan gerbang rumah Nera, pagar besi tinggi dan
kokoh, rumah besar dengan arsitektur khas eropa sudah menyambutku, “makasih ya”
aku gak banyak bicara untuk menyatakan terima kasih dan salam perpisahan.
Sebuah senyuman manis terlontar dari bibir Izzy. Mobil hitam itu perlahan
hilang, dan aku mulai masuk ke dalam rumah.
#ada
yang beda dari Nera! (Dinda)
Seperti biasa, setiap istirahat , kami
selalu makan bersama di kantin, hawa jam 12 siang adalah hawa yang paling
menyebalkan bagi kita. Panas,ngantuk rasanya ingin cepat-cepat terkapar di
kasur empuk itu, bersembunyi di hangatnya selimut dan tentunya bermain kealam
mimpi yang kalo lagi beruntung, lo dapet mimpi yang sempurna, ber-ending baik,
tanpa mesti kehilangan separo cerita gara-gara jam weker atau suara mama yang
mengetuk pintu mengajak makan siang. Seperti biasa, gue selalu berharap
kejadian seperti kemarin terulang kembali. Yap, disamperin sama si ganteng
Izzy, dan dianterin pulang. Aku tertawa
kecil mengingat hal kemarin.
“Din, lo baik-baik aja kan?”, Tanya
Nera padaku yang sedari tadi terus melamun. Seketika aku kaget mendengar
suaranya, “emm, enggak ko Ra. Gue baik-baik aja”, “gue liat-liat lo aneh hari
ini, gak kaya biasanya Din” tanyanya sambil terus menyedot es teh yang dia
pesan. “oh iya Ra, gue makin cinta sama Izzy” , pernyataan Dinda seketika
membuat Nera tersendak. “are you okay Ra?” tanyaku cemas., Nera menggeleng.
Cowok gagah nan tampan itu kemudian
muncul dikantin, dia yang aku tunggu-tunggu ternyata datang, Izzal Wijaya atau
yang beken dipanggil Izzy , dia datang dengan menenteng mangkuk dan segelas Jus
jeruk yang ia pesan, berjalan menghampiri kami. Ku persilahkan dia duduk
disamping kami, aku sepintas melihat raut wajah yang beda dari sahabatku, Nera.
Biasanya Nera tak seperti ini ketika aku mempersilahkan Izzy untuk bergabung
dengan kami, entah apa yang membuat dia berubah seperti itu. Aku coba
meyakinkan diriku untuk tidak berprasangka buruk pada Nera.
#Rasa
pada Izzy ?? (Nera)
Jam dinding terus berdetak, suaranya
menyeruak diruangan nan sepi. Aku terdiam, diam perlahan mengingat raut wajah
Dinda yang berhasil tercuri oleh penglihatanku. Sepertinya dia sudah tau kalau
aku pun diam-diam memendam perasaan yang sama. Hanya gara-gara diantar pulang
olehnya perasaanku berubah, “aaaaaaaaaaaaaaa” aku berteriak kencang. Seakan tak
percaya dengan perasaan yang tidak bisa diajak untuk berkompromi seperti ini.
Aku mendengus kesal, tak ingin menyakiti sahabat sendiri. Tiba-tiba handphoneku
bordering, dengan cekatan aku meraihnya.
“halo?
Selamat malam”
“Hai
Ra, lagi apa?” tanyanya dengan suara merdu.
“Hai,
maaf ini siapa ya?” pura-pura tak kenal aku melontarkan pertanyaan itu.
“Gue
Izzy Ra, gue dapet nomer elo dari Dinda” dengan santai dia menjawabnya.
Aku
terdiam, membayangkan bagaimana perasaan Dinda ketika Izzy meminta nomerku,
padahal aku yakin Dinda sudah tau kalo aku terlihat beda saat dihadapan Dinda.
Terbata-bata
aku melontarkan pertanyaan padanya ,”em, em, a , apa yang Dinda katakana?”
“Dinda
gak bilang apa-apa kok Ra, aslinya aku udah dari kemaren minta nomer elo ke
dia, buat minta maaf, tapi gara-gara sibuk jadi ya baru pas kemaren , sorry ya”
“iya
gue maafin” aku menghela nafas tanda kelegaan datang.
“Ra,
bisa keluar gak?” pintanya.
“maksud
lo?” aku menyibak kelambu melihat ke luar, tak ada seorang pun disana.
“keluar
aja” pintanya terus mengalir.
Aku segera bergegas keluar rumah, ku
buka pintu gerbang, dan ternyata Izzy sudah berada di depan gerbang. Aku
terkejut, senyum jailnya keluar dari sudut-sudut bibirnya. Dia kemudian
mengajakku berjalan ke teman kompleks perumahan. Melihat indahnya bintang yang
bertaburan di langit, menatap indahnya bulan yang terus tersenyum.
Izzy , dia adalah cowok yang sangat
populer di sekolah, semua cewek suka padanya, termasuk sahabatku sendiri,
Dinda. Perasaan tak bisa ku bohongi, jujur aku mulai tertarik padanya,
mengingat semua kebaikan yang ia berikan selama ini. Hal itu mengalahkan semua
rasa benciku dulu, termasuk saat di Jogja. Aku terkekeh mengingatnya.
“stop Nera, lo harus lupain tuh cowok,
jelas-jelas dia nakal sama lo, jelas-jelas lo benci sama dia. Inget,Dinda cinta
mati sama dia, lo harus lupain dia!”
boneka teddy kesayangannya menjadi seolah dirinya sendiri untuk
meluapkan semua yang ada dalam perasaannya.
#Rahasia
Nera, (Dinda)
Besok adalah pelajaran, bahasa Inggris
dan aku harus mengembalikan buku catatan Nera yang kemarin aku pinjam untu ku
salin. Beberapa menit yang lalu aku menelpon Nera, namun selalu terdengar nada
sibuk. Biasanya jam segini Nera selalu membuka buku pelajaran untuk besok, tak
enak rasanya jika tidak ku kembalikan padanya mala mini juga. Rumah kami tak
terlalu jauh, jadi ku putuskan untuk mengayuh sepeda menuju rumahnya.
Ku ayuh sepeda dengan sekuat tenanga
sembari menikmati angin malam yang meyentuh dan masuk ke dalam tubuhku. Rumah
Nera kuang sebentar lagi, ketika mata ini meuju pada sebuah bangku di taman,
aku terperanga kaget, 2 sejoli yang sedang duduk disana, aku mengenal mereka,
mereka sedang asik bercengkrama menikmati indahnya malam.
Aku tertegun, diam, air mata ini
mengalir dengan perlahan, aku benar-benar tak percaya, melihat sahabatku
sendiri, ternyata menghianati. ku usap perlahan air mata yang menetes di pipi,
sambil melaju kencang menuju rumah Nera.sesampainya disana, benar dia benar-benar
tidak ada di rumah.
Kaki ini terasa lemas untuk melangkah,
tak ada semangat yang berarti dalam hidup ini, meski aku menyukai Izzy
diam-diam, namun Nera lah yang mengetahui semua itu, dia yang dulu anti
terhadapnya, kini menjadi begitu dekat dengan Izzy. Aku mendesah kencang, nafas
ini terasa sesat, penuh oleh aliran emosi yang sedari tadi menggema di tubuh
ini. Aku tak habis sangka dia seperti itu, mengingat kejadian pahit itu, seakan
aku ingin segera melupakannya.
“Din, lo semalem datang ke rumah gue
ya?” Nera berdiri dihadapanku, aku masih merasa kesal, tak percaya dengan
kejadian malam itu, “oh, iya gue titipin buku lo ke mbok Mi, sorry telat”
jawaban ketus keluar dari mulut ini, aku bergegas meninggalkannya keluar. Aku
melihat lekukan keecewaan yang muncul dari Nera, aku tak tega memlihatnya,
namun kali ini rasa ibaku padanya terkalahkan oleh luapan emosi yang menyeruak.
Aku berjalan menyusuri lorong sekolah
dengan tatapan kosong, sekilas aku memperhatikan ruangan lab yang tampak ramai
oleh kelas sebelah yang melakukan praktikum, mata ini menangkap sesuatu yang
lain di belakang ruangan itu, sosok orang yang sangat ku kagumi, berdiri dengan
tegap, sambil bercengkrama dengan temannya, aku menagkap sesuatu yang sangat
aku suka darinya, senyum. Izzal Wijaya memiliki senyum yang indah, senyum yang
sama persis dengan senyum kak Dion, sahabat
dekatku yang begitu hangat menyaku, menganggapnya sebagai adik sendiri,namun
kini ia telah tiada.
#Dia
begitu Indah (Izzy)
Malam ini bagaikan mimpi bagiku,
melihat wajahnya yang begitu terang, yang dulu diam-diam ku curi, mencuri
setiap tingkahnya. Kesengajaan yang ku buat saat di bus, benar-benar membuatku
semakin jatuh hati padanya. Pandangan pertamaku saat bertemu dengannya bukanlah
di bus itu, saat kita ke Jogja, melainkan saat pertama kali aku menginjakkan
kaki di sekolah, melihatnya yang berlari di depanku, serta membantuku
menunjukkan arah ke kantor kepala sekolah. Meski dengan wajah yang tak terlalu
memperhatikan, sikapnya yang cuek itu lah yang membuatku jatuh hati padanya.
Nera Putri Budiman, sosok gadis cantik
berambut ikal dipotong sebahu, berpostur sekitar 160 senti, serta wajahnya yang
oriental benar-benar memikat hatiku. Sikapnya yang humble membuatku ingin
selalu bersamanya.
Ketika
semua cewek di sekolah berlomba-lomba mengejarnya, namun Nera tetap pada
sikap cueknya, tak peduli dengan apa yang mereka lakukan. Kampungan, itulah
kata yang sering ia katakana ketika melihat para siswi sekolah berteriak ketika
bertemu dengan Izzy. Izzy tersenyum
kecut ketika melihat itu, Nera, Nera dan Nera, itulah sering ia pikirkan selama
ini.
Petikan gitar membawa harmoni yang
perlahan memenuhi ruang kamarnya, syair yang terucap seakan mengungkapkan isi
hati. I love you but is not so easy,, to
make you here with me . Penggalan
lagu Endah n Ressa ia nyanyikan dengan sepenuh hati, senyum yang keluar
semakin menambah nikmatnya lagu yang ia nyanyikan. “Gue jatuh Cinta sama lo
Ra!” teriak Izzy bahagia.
#seminggu
seudah dia diam (Nera)
Sejak Dinda datang kerumahku malam
itu, dia tak pernah mengajakku berbicara, diam, dan tak tahu bagaimana yang
mestinya aku lakukan. Sekarang dia lebih sering bergabung dengan Inez, duduk
bersama dia, makan ke kantin bersama dia juga. Aku tertegun , perlahan aku
berpikir apa yang terjadi, apakah aku melakukan kesalahan padanya, atau
jangan-jangan dia sudah mengetahui semuanya, tapi entahlah, aku bingung.
Angin datang membelai helai demi helai
rambutku, aku tertunduk lesu, sebuah coklat terulur kea rah mukaku yang sedari
tadi kusut. Aku mengekor kke arah tangan yang memegang coklat itu, Izzy. “lo ngapain?” tanyaku kaget padanya. “kenapa
gak ke kantin?” heran Izzy. “ oh, lagi
males aja” ngeles, “gue lihat-lihat lo jarang banget sama Dinda sekarang?”
“emmm, gak kok kita gak kenapa-napa, aku cuman lagi pengen disini aja” jawabku
sembari melontarkan senyum kecut. “Ra, gue cabut kelas dulu ya udah belt uh”
pamitnya, aku hanya mengangguk padanya.
Hari ini, sepulang sekolah aku
langsung menuju rumah Dinda, meminta maaf atas kesalahanku dan bertanya apa yang sebenarnya merubah
sikapnya selama ini. Sesampainya di depan rumah, aku terus menatap pintu , aku
masih ragu untuk datang ke tempatnya, tapi aku harus kesana untuk menanyakan
itu semua. Mbok Nah membukakan pintu untukku, dan mempersilahkanku untuk masuk
ke kamar Dinda. Aku melihatnya sedang terbaring tengkurap sambil menggoreskan
tinta ke buku warna pink yang ia miliki.
“Din” kataku kaku, langkahku terhenti
di depan pintu kamarnya, dia menoleh ke arahku, “kenapa lo kemari?” , “gue
minta maaf sebelumnya, kenapa lo kayak gini sama gue?” dia beranjak kemudian
berdiri di sebelah jendela kamarnya, sembari melihat kea rah luar, dengusan
kesal serta senyum kecut keluar darinya, “gue gak habis pikir, ternyata sahabat
yang gue percaya, pengkhianat!” , “maksud lo? “ kaget. Air mata perlahan turun
dari mata mungil Dinda, membasahi pipinya “gue suka sama Izzy, tapi kenapa
lo..” kata-katanya tak dilanjutkan. “gue gak suka sama Izzy, percaya Din”
mencoba meyakinkannya, “bohong!” serunya. “trus malam itu? Apa yang lo lakuin
sama Izzy, berduaan di taman, apa Ra? Lo gak usah bohongin gue, gue tahu Ra”
dia terus menagis menatapku, aku ingat ternyata, malam itu dia mengetahui kalo aku
di taman sama Izzy, “lo tahu?” tanyaku tak percaya, “iya, gue ke rumah lo, naik
sepeda, dan gue lihat lo sama Izzy. Itu yang namanya sahabat Ra?” dia terus
menyalahkanku. Aku tak kuasa, melihat tangisannya, ku datangi dia dank u peluk
tubuhnya yang mungil itu, “maaf Din, gue gak ngapa-ngapain sama Izzy, dia
ngajak gue keluar, dia cuman butuh temen ngobrol” kataku sambil terus mengelus
punggungnya. ”Sikap lo beda Ra, gue tahu itu,” Dinda beranjak dan melepas pelukanku. Aku hanya
terdiam tak bisa berkata apa-apa saat dia mengatakan itu, aku kalah aku
menyerah. “maafin gue Din, gue janji gak
bakal lakuin ini lagi, gue janji Din” sambil berlutut meminta maaf pada Dinda.
Dia mengangkatku, dia memelukku sebagai pelukan sahabat, hangat yang ku rasakan
,”gue gak pengen kita putus persahabatan hanya gara-gara cowok din” pintaku
dengan air mata yang tak terbendung lagi.
#............
Siang itu Izzy menghampiri Nera, entah
apa yang ia akan lakukan, dengan tergopoh-gopoh karena gitar yang ia bawa. Sebuah kursi telah ia persiapkan di tengah
lapangan basket. Tidak ada yang tahu, apa yang akan ia lakukan, konser? Apakah
Izzy akan melakukan konser tunggal di tengah lapangan? Semua murid terus
bertanya-tanya melihatnya. Senyum yang ia umbar kali ini beda, senyum sebuah
kebahagiaan yang ada sekarang, bukan senyum cari perhatian yang sering ia umbar
pada semua cewek yang melihatnya.
Lantunan lagu “When You Love Someone” yang
dinyanyikan oleh Endah dan Ressa, ia nyanyikan, jari-jari tangannya dengan
halus memetik senar yang teratur oleh nada-nada yang indah.
=#aku
sadar, Love is not everything (Dinda)
Heran melihat semua anak-anak
berlarian menuju lapangan basket, aku yang kala itu sedang bersama Nera, kita
semua heran, saling bertanya apa yang terjadi. Setelah makan siang kami
selesai, kemudian kami berlarian menuju tempat itu, yap, aku melihat seseorang yang selama ini
aku kagumi, namun sekarang aku sudah mulai sadar, Izzy hanyalah idola bagiku,
bukan seorang yang ku inginkan lebih. Aku terkekeh mengingat apa yang selama
ini ku perbuat untuknya. Tak terasa air mata ini jatuh, butirannya terus
membasahi pipiku, betapa egoisnya aku, hingga aku harus mendiamkan sahabatku
dari kecil hanya gara-gara cowok ini, aku sadar Love is not everything.
#Friendship
is everything (Nera)
Kami saling berpandangan,
bertanya-tanya apa yang dilakukan Izzy di tempat itu, “bodoh” kataku
melihatnya. Aku terus memperhatikannya, lantunan lagu itu, ia nyanyikan dengan
suara indah, tanpa false sedikitpun, yaiyalah namanya juga penyanyi, gumamku.
Semua siswi sekolah terus berteriak ketika melihatnya, aku tak habis pikir, apa
yang mereka lakukan sungguh berlebihan.
Teriakan yang paling kencang adalah,
ketika Izzy, datang mendatangiku, senyum manisnya membujukku untuk ikut
bersamanya. Aku melihat sabahatku, Dinda, matanya mengijinkan ku tuk ikut
bernyayi bersamanya. “Gue cinta sama lo, mau gak jadi pacar gue?” pintanya
dengan sepenuh hati. Mataku melolok seakan tak percaya, cacian muncul dari para
cewek sekolahan yang melihat kami, mereka sungguh tak percaya, Izzy mengatakan
itu padaku.
Aku terus mengekori gerak-geriknya,
menangkap setiap lekukan perasaan dari wajahnya, dan sesekali aku memandangi
raut Dinda yang melihat kamu, dengan diam, aku tersenyum manis “masih ada yang
lebih cinta sama lo, masih ada yang jauh lebih baik dari gue. Persahabatan
bagiku adalah segalanya, aku lebih menghargai sebuah persahabatan daripada
sebuah hubungan percintaan, sabahat punya cinta dan kasih sayang, namun pacar
hanya punya cinta, bukan keduanya,” kataku.
Senyum bahagia yang Izzy umbar kini
perlahan menipis, berubah menjadi raut kekecewaan, hampir 5 menit sejak aku
mengatakan itu, dia mulai bangkit, dia yang dari tadi tertegun kini perlahan
mengangkat kepalanya dengan penuh semangat, “makasih Nera” ucapan itu muncul
dari mulutnya dengan senyum khas yang ia miliki. Aku tersenyum padanya,
kemudian membalikkan arah dan bergegas ku gandeng sahabatku Dinda , kita adalah
sabahat, yang tidak akan terpisah oleh apapun. J
#Friendship
is everything (Dinda)
Aku tak menyangka, Nera melakukan itu,
dia jauh lebih berharga dari apapun bagiku, Nera lebih memilihku sebagai
sahabatnya daripada cowok yang aku tahu dia
sangat mencintainya. J
#well,
sahabat buat Nera (Izzy)
Nera, cewek yang aku cinta, lebih
memilihku untuk mencintai dan menyayanginya sebagai seorang sahabat, daripada
kekasih yang baginya hanya memberikan cinta. Aku tahu dia adalah segalanya
bagiku, namun persahabatan akan membuatku semakin menghargai persabahatan
daripada cinta. “gue janji bakal jadi sahabat baik buat lo Ra” gumamku, sambil
terus menatapnya dalam senyum. J
#bye
Ketika persahabatan berubah menjadi
derajat yang paling tinggi, ia tidak akan melukai sahabatnya, tidak akan
berubah menjadi monster untuk sahabatnya. Kalau kata orang-orang Friendship is everything bagiku itu
benar. Sahabat tak akan pernah hilang ketika kita membutuhkan, sahabat tak
akaan pernah berubah menjadi monster. Tak ada kata mantan sahabat, sahabat
bertahan lama, hubungan cinta, kita tak tahu, yang berawal baik bisa berakhir buruk.
Sahabat punya cinta dan kasih sayang, namun kekasih , dia hanya punya cinta
buat kita. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar