Minggu, 11 November 2012

Arah

Hiruk pikuk dan gemerlap lampu kota bersinar indah, bak bintang yang berkelip riang di langit. Sinar lampu pengganti cahaya bintang yang hilang ditelan oleh pekatnya awan mendung, yang hadir di kota Bandung malam ini. Bau basah hujan sangatlah menyengat, rintikan halus perlahan berubah menjadi pancuran air yang begitu derasnya turun. Gadis itu masih duduk dengan tatapannya yang kosong, sesekali ia mengadahkan tangannya ke atas, menikmati sentuhan air yang jatuh dari langit. Sudah hampir 1 jam lebih ia duduk di situ, sudah banyak bus yang datang, namun ia tetap tak menghiraukannya. Bajunya bergelora tertiup angin, kain chiffon yang halus berbentuk gaun cantik nan pas ia kenakan.
Waktu terus berkutat dengan detikannya yang semakin terasa cepat, malam pun semakin lama semakin bingar. Udaranya begitu keras menusuk ruas-ruas tulangnya, hujan yang gencar berdendang, kini perlahan mulai hilang dari pekatnya malam. Raut wajahnya tampak sudah lelah duduk di halte yang sepi, hingga ia akhirnya beranjak dan pergi meninggalkan tempat itu setelah sebelumnya ia memutuskan dengan helaan nafas yang panjang. Kaki mungilnya terus menyusuri jalan, pandangannya masih terlihat kosong. Bau sisa-sisa hujan yang masih harum tak ia hiraukan, ia terus berjalan, berjalan , dan berjalan tanpa arah, hatinya lah yang menuntun entah kemana tempat yang akan ia tuju.
Dedaunan dan aspal masih terlihat basah terguyur hujan tadi, pohon tinggi yang berdiri kokoh disepanjang jalan, menhembuskan dedaunan yang gugur oleh tiupan angin yang menerpa kencang. Rena, gadis berambut panjang yang tergerai dengan balutan gaun putihnya yang terus bergelora tertiup hembusan angin itu, tak berhrnti untuk melangkahkan kaki mungilnya. Kini, angin dan udara seperti sebuah kesatuan senjata yang bersatu, hingga Rena mendekapkan tangannya, udara dingin kali ini benar-benar menggores tulangnya. Udara benar-benar menggodanya untuk berhenti melangkah, namun ia tak menghiraukan dan terus melangkah.
Bayang-bayang kejadian siang tadi masih menggema di benaknya, pikirannya terus mengisi setiap memori otaknya, hingga penuh dan lumer oleh kejadian tadi.  Siang itu, yah, siang itu begitu cerah, matahari tak sesangar seperti hari-hari biasa yang cukup membakar kulit. Angin pun bergerak lembut menyentuh permukaan kulit, masuk perlahan ke dalam pori-pori dan menyejukkan seluruh tubuh. Senyum binar mengembang di balik bibir indahnya yang terpulas dengan pulasan lipstick warna punch, gaun putih terbaiknya sengaja ia kenakan untuk hari spesialnya bersama dia yang ia cinta. Di depan meja rias, ia terus macak dirinya, hingga terlihat sempurna, sempurna di depan orang yang sangat Ia kasihi sejak 3 tahun lamanya.
Suara klakson taksi yang ia pesan 5 menit yang lalu kini datang, wajahnya semakin sumringah dan senyum yang berbinar mekar, langkahnya penuh dengan semangat matanya seakan berbicara bahwa dia sudah tak sabar bertemu Dito, kekasihnya. Tak lupa bungkusan kotak yang ia bawa berbalut kertas kado warna merah marun ia tenteng masuk. Di depan pagar, ia mengadah ke atas , melihat kamar berkelambu biru yang bergerak tertiup angin. Dengan segan ia memencet bell, disela-sela waktu sembari menunggu seseorang membukakan pintu, rambut Rena yang sedikit berantakan ia rapikan dengan jari-jari mungilnya. “Happy anniversary Sayang!!” Rena berseru bahagia, hingga Dito, lelaki yang membukakan pintu itu tercengang kaget dengan kehadiran kekasihnya itu. Dito terlihat begitu kikuk, ia tak menduga Rena akan datang menemuinya, “kok gak bileng-bilang sih kalo mau kesini” smbil menggaruk-garuk kepala. Rena menjawab dengan enteng dengan senyum masih masih bertebaran di bibirnya, “kan mau kasih surprise” , “yaudah,aku ke kamar mandi dulu ya”. Ruangan kamar Dito terlihat luas, di sudut kanan terdapat sebuah almari yang tinggi , serta di sebelahnya ada sebuah lukisan elang yang sedang terbang bebas dia atas tebing yang tinggi. Terdengar suara handphone berbunyi, nada suaranya sama dengan nada milik Rena, ia membuka tas dan mencari-cari hpnya, namun hp Blackberry Rena mati. Matanya mengekori seisi ruangan, hingga ia menemukan hp Dito , dengan ragu ia membuka pesan itu happy anniversary 1st Baby. Kaki mungilnya terasa semakin lemas, perlahan semakin lemas, hingga ia tak mampu berdiri dan perlahan jatuh dalam posisi duduknya.
Dito datang dengan handuk yang ia gosok-gosokkan di permukaan rambutnya, di terheran melihat sikap Rena yang berubah 360 derajat darp pertama ia datang. Kemudian ia berjalan ke arah Hp yang tergeletak di meja kayu yang berada persis di depan tempat Rena. Kini, nada tinggi telah beradu, suara lantang dari keduanya menggema di seluruh ruangan. Peperangan dimulai, Dito tetap menyanggah hal yang diketahui Rena barusan. Butiran air mata perlahan turun dan membasahi bidang pipi Rena, sesekali ia usap dengan tangannya sendiri.
Pernyataan demi pernyataan telah terlontar lantang, membuat batin Rena semakin tersayat, semakin tersayat hingga menumbuhkan luka yang menganga, karena Laki-laki yang ia cintai tak kunjung berkata sebagaimana mestinya. Isakan tangisnya membawanya keluar ruangan itu, langkah kaki yang terhanyut oleh suasana hatinya, membawa raganya  keluar.
Malam semakin larut, udara semakin garang menumbuhkan dingin hingga benar-benar menusuk tulangnya. Tangan mungilnya tetap mendekap erat, semakin erat, menghindarkan tubuhnya tergores oleh dinginnya malam. Pandangannya masih kosong, dan hanya satu dalam pikirannya, orang yang ia cintai mengejarnya dan mau untuk mengutarakan kejujuran, bukan kebohongan yang ia inginkan.
Berjalan terus dan terus tanpa henti, rambutnya dibiarkan tertiup angin, dan ia tak menghiraukan lagi , mahkotanya tak beraturan. Tak ada lagi senyum sumringah seperti siang tadi, hanya goresan raut penuh luka yang menghiasi wajahnya.  “Rena!!!!” seruan suara yang sangat ia kenal, dan sangat ia inginkan saat ini, memanggilnya. Wajah yang tertunduk, kini perlahan terangkat, senyum bahagia kini perlahan tertoreh di bibirnya hingga akhirnya ia membalikkan pandangannya. Dilihatnya, sosok itu berdiri dengan tatapan penuh pengharapan,ia kembali. Senyumnya di balut oleh tangis bahagia, langkahnya maju bersemangat namun tetap pelan, tatapannya hanya tertuju pada satu arah. Arah dimana seorang yang ia inginkan saat ini berdiri, tak ada arah lain yang ada dipikrannya, hanya ada arah itu. Satu arah yang ia tuju, hingga Ia tak tahu , sebuah mobil berjalan dengan kencang dari arah kirinya, dan tetap saja gadis itu tak tahu, dan tak menghiraukannya. Hingga akhirnya dia yang melaju kencang kini membuatnya terpental dan membuatnya tak berdaya.
Arah yang ia tuju, hanyalah sebuah jalan yang lurus tak terhenti, gelap hanya ada sedikit cahaya yang bersinar. Arah sosok itu hanyalah ilusi yang ia pikirkan sepanjang ia melangkah, tak ada sosok yang ia inginkan memanggilnya, dan mngejarnya. Semua hanyalah sebuah ilusi yang berujung pahit yang kini Rena rasakan, pahit dan amat pahit dalam dunia nyata. Namun, manis dalam alam yang kini ia tempati, manis, indah dan damai yang ia rasakan.
Dito benar-benar tak mengejarnya, ia terus menghisap puntung rokok, menghisap hingga mengepulkan asap putih. Tatapannya tertuju pada jendela yang mengarahkannya untuk melihat ke luar, ia beranjak ketika seorang gadis menelphonnya, “sayang, aku tunggu di depan ya “, suara manja itu membangkitkan laki-laki itu dan pergi menemuinya.
            Langkah kakinya telah terhenti, kini ia tak lagi melangkah dalam lubang pahit, tak ada lagi sakit dan sesak yang ia rasakan. Tak ada lagi dingin yang menusuk ruas tulangnya, dan daun tetap berguguran namun, raga itu tetap tak beranjak.